
Nge-Teh
Ketika di asrama dulu, ada beberapa teman yang aku tahu suka sekali minum teh. Salah satunya adalah Mbak Tutik. Seingatku, hampir setiap sore dia membuat teh hangat. Dan tak jarang dia menawariku, "Gelem teh ra?" (Mau teh nggak?) Ya, begitulah rezeki kecil saat di asrama. Tawaran dibuatkan teh manis kok nolak? Jelas tidak dong. Apalagi kalau ada tempe mendoan atau tahu isi hasil perburuan di Sagan.
Dari Mbak Tutiklah aku tahu beberapa merek teh yang menurutnya enak. Terus terang aku lupa merek-merek teh yang enak menurut dia, tapi salah satunya kalau tidak salah adalah Teh Catoet (semoga tidak salah tulis). Bagaimana enaknya? Tidak tahu. Hahaha.
Memang lidahku ini bodoh, tak bisa membedakan teh mana yang benar-benar enak, dan mana teh yang hanya memberi warna cokelat biasa--tanpa rasa teh yang asli. Jadi, dulu kalau di asrama ada dua tempat air besar satu berisi air putih dan satu lagi berisi teh, maka aku tak bisa membedakan rasanya. Yang satu bening, yang satu cokelat. Tapi soal rasa, sama saja tuh!
Bagiku, kenikmatan yang melekat dari acara ngeteh sore adalah kedekatan kami. Obrolan yang tak jelas juntrungannya. Kadang membicarakan teman-teman di kampus, kadang membicarakan si A, kadang cerita soal masa kecil, dan tentunya ... cerita soal cowok dong! Hihihi. Dan kegiatan ongkang-ongkang di sore hari itu pun kami akhiri karena kami satu per satu harus mandi dan ikut makan malam bersama di asrama.
Ketika aku bekerja kantoran, OB di kantorku, Pak Mar, pintar membuat teh manis. Jika Pak Mar tidak masuk, biasanya teh yang terhidang di meja kami kurang nikmat. Tak bisa aku menggambarkannya. Yang jelas kekentalannya kurang, dan gulanya kebanyakan menurutku. Lidahku bisa membedakan mana teh buatan Pak Mar dan mana yang bukan. Sayang, ketika aku sudah tak berkantor lagi di sana, aku dicuekin Pak Mar ketika minta teh manis. Huuu :(
Ketika menikah, ndilalah ... aku bersuamikan lelaki yang suka wedangan alias menikmati minuman hangat. Salah satu minuman hangat kesukaannya adalah teh. Tapi kali ini aku belajar membedakan mana teh yang enak dan mana yang sekadar memberi warna cokelat. Dulu aku tak pernah ambil pusing ketika minum teh. Tapi sekarang? Jangan tanya. Aku tahu lo, kalau teh celup merek S*** W**** itu tak enak. Harumnya juga kurang. Tak ada rasa teh yang melekat di lidah saat kita meminumnya.
Suamiku yang penikmat teh itu mengajariku bagaimana membuat teh yang enak. Tapi tetap saja aku tak bisa menyamai teh buatannya. Teh buatannya selalu yang paling pas di lidah. Dia selalu tahu seberapa banyak jumputan daun teh dan takaran gula yang pas untuk satu cangkir teh. Dan teh pilihannya pun tak pernah mengecewakan di lidah. Darinya aku tahu rasa teh yang sebenarnya: segar, wangi, dan ada rasa pahit di ujung lidah. Kami biasanya memilih jenis teh hijau atau teh oolong. Kadang ketika main ke Bandung, kami menyempatkan mencari teh Upet yang mudah sekali ditemui di sana. Biar hanya teh celup, teh Upet ini cukup nikmat dibandingkan teh celup lainnya. Harganya pun cukup miring jika dibandingkan teh Dilma atau teh bermerek lainnya.
Kadang aku berpikir, di Indonesia ini ada banyak sekali perkebunan teh. Tapi kenapa ya masih jarang orang Indonesia yang tahu mana teh yang enak dan mana yang biasa-biasa saja. Kita terbuai begitu saja dengan iklan-iklan teh di media massa, dan membeli teh hanya karena iklan. Padahal produk teh yang sering diiklankan di televisi itu tidak enak lo. Percayalah. Kurasa teh terbaik kita larinya ke luar negeri, diekspor. Sebenarnya tak masalah jika kita mengekspornya. Tapi kalau anak negeri sendiri jadi tak kenal teh yang enak, sayang kan?