Friday, April 03, 2009


Kangen (Antara Mbah Kung dan Sampah)


Entah kenapa kok tiba-tiba aku kangen pada mendiang kakekku (ayah dari ibuku)--Mbah Kung.
Dalam ingatanku, Mbah Kung adalah orang yang sangat rapi. Agak mengherankan karena biasanya laki-laki kan agak ceroboh dan tidak rapi (hmmm ... kaya siapa ya?). Tapi Mbah Kung tidak. Hal ini bisa dilihat dari deretan buku yang tertata rapi di raknya. Rapiiii banget. Tak ada satu pun buku yang tercecer. Setiap kali mengambil buku, dia selalu mengembalikannya lagi dengan tetap menjaga kerapian.

Kekangenanku ini biasanya muncul saat aku membuang sampah. Aneh ya? Sebenarnya tak terlalu aneh jika kalian mengenal Mbah Kung. Zaman aku masih SD--di mana waktu itu global warming masih belum banyak dibicarakan orang--Mbah Kung sudah memilah sampah. Dan daun-daun yang rontok di halaman rumahnya dikumpulkan di sebuah lubang, lalu dibuat pupuk. Bahkan cangkang telur pun dipakai buat pupuk oleh Mbah Kung. Jadi, cangkang telur itu dihancurkan dan ditaburkan begitu saja di pot-pot bunga yang berjajar rapi di serambi depan. Aku tak tahu, apakah tanaman di halaman rumah Mbah Kung itu subur-subur karena pupuk buatannya sendiri atau karena memang "dicintai". Maklum, Mbah Kung itu bisa berjam-jam mengurus tanaman. Bisa dari pagi sampai siang. Trus tidur siang sebentar, sorenya melanjutkan lagi mengurus tanaman. Bagaimana nggak subur tanamannya? Wong ditunggui dan dirawat tiap hari. Seingatku tak pernah kulihat rumput liar yang sempat tumbuh di halaman rumahnya.

Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Mbah Kung jika saat ini Mbah Kung tinggal bersamaku. Rumah yang kutempati ini bisa dibilang tak punya halaman. Ada sih, tapi cuma kira-kira 1,5 meter. Itu pun sudah dipasangi keramik. Jadi, sama sekali tak ada tanah.

Setiap kali membuang sampah, aku kadang merasa agak "sedih". (Aku sebenarnya bingung, apakah kata "sedih" itu tepat untuk menggambarkan perasaanku. Yang jelas sih rasanya gimanaa gitu. Nggak puas, nggak lega, merasa bersalah, campur aduk lah!) Walaupun sudah kupilah sampahnya, aku sebenarnya merindukan halaman yang cukup luas, yang tidak dibeton atau dikeramik. Aku ingin mengikuti jejak Mbah Kung yang bisa membuat pupuk sendiri di pojok halamannya. Memang di depan rumah aku punya komposter, tetapi kok rasanya lebih enak kalau punya tanah sendiri ya? Jadi bisa kubuat lubang pembuangan sampah, dan sampah-sampah organik itu bisa terurai dengan lebih alami--tentunya sampah yang tak bisa busuk tidak ikut dicemplungkan di situ.

Rasanya aku pengen bercakap dengan Mbah Kung. Aku pengin tahu bagaimana solusinya dalam mengolah sampah jika Mbah Kung harus tinggal di Jakarta, di rumah yang tak berhalaman. "Niki pripun, Mbah?"

*foto diambil dari http://hartonok-fam.blogspot.com/

5 comments:

DV on 9:01 PM said...

Wah Mbak Kakung, berbahagialah kamu mengalami Mbah Kakung, Menik.
Waktu aku lahir, Mbah-mbah putriku semua sudah jadi janda jhe hehehe :)

AndoRyu on 1:44 AM said...

"biasanya laki-laki kan agak ceroboh dan tidak rapi (hmmm ... kaya siapa ya?)"

*ngakak baca kalimat atas*

krismariana widyaningsih on 7:10 AM said...

@DV
mbah kakung juga udah lama meninggal...

@Yusahrizal:
kamu inget temen sendiri ya? :p

Ersis Warmansyah Abbas on 6:13 PM said...

Syukirlah masih ada yang dikangeni ... mbah saya dah almarhum

edratna on 10:46 PM said...

Benar kata DV, saya tak pernah mengalami ada mbah Kakung...
Anak-anakku malah kasihan, hanya punya mbak Kakung dari pihak ayahnya. Kedua mbah putri dan mbah kakung dari pihak ibu sudah tak ada semua, bahkan sejak mereka lahir.