Tuesday, March 13, 2007

Seberapa Plural, Sih Aku Ini?

Pertanyaan yang mungkin enggak penting bagi sebagian orang ini muncul tadi pagi. Tepatnya pas aku menyetel televisi dan di TransTV menayangkan acara “Surat Sahabat”. Biasa saja sih. Ceritanya tentang anak-anak di Rote. Cerita tentang keseharian mereka.


Entah ada berapa orang yang menganggap bahwa apa yang ditayangkan di situ adalah hal yang biasa-biasa saja. Tetapi memang yang kulihat di situ berbeda dengan apa yang kulihat sehari-sehari di sini. Terutama soal bahasa. James, kalau enggak salah, bercerita tentang pembuatan gula dari air nira. Sori ya kalau salah, tadi soalnya nontonnya sepotong-sepotong, disambi telepon karena aku sudah “kebelet” untuk bercerita dengan orang di seberang sana tentang pemikiran yang ada di benakku saat menonton acara itu. James, atau siapalah namanya, berbicara dengan bahasa Indonesia yang menurutku agak terpatah-patah, seperti kalau anak SD djaman dahoeloe baca “Ini Ibu Budi”, itu lo. Dan agak campur dengan logat bahasa daerah sana, menurutku.


Yang ditayangkan Trans TV itu mengingatkanku saat aku ke Belitung dan ke Bali beberapa saat yang lalu. Sama-sama ke luar Jawa, tetapi pengalamannya sangat berbeda. Aku ke Bali untuk wisata bareng teman-teman kantor nginep di hotel, dan ke Belitung nginap di rumah orang, yang bukan orang Jawa, melainkan Cina.


Tapi terlepas dari itu, kunjungan ke Belitung kemarin membuatku ngeh seperti apa “shock culture” itu. Di sana jelas aku mesti berbaur dan menyelami adat orang di sana. Begitu sampai di sana, aku sudah merasakan hal yang berbeda. Sebagai keluarga pedagang, rumahnya digabung dengan sebuah toko di muka rumahnya. Jadi, di sana tidak ada halaman yang luas seperti di rumahku Madiun. Lalu, keluarganya menyambut kami dengan bahasa Kek. Dan mungkin karena menyadari bahwa ada seorang bukan keturunan Kek di situ, bercampurlah bahasa yang dipakai: bahasa daerah setempat, bahasa Kek, dan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang kudengar pun agak sulit kutangkap karena sangat kental tercampur dengan logat asli sana.


Dan saat itulah aku pertama kali benar-benar masuk ke rumah keluarga Cina. Unik sih, karena di situ ruangan dipakai untuk macam-macam—ruang seterika, ruang makan, ruang nongkrong. Tidak ada pemisahan khusus. Dan untuk makan sepertinya memang tidak biasa dilangsungkan acara makan bersama. Kami—anak-anak—memang makan bersama sih. Tapi rasanya meja yang dipakai bukanlah meja yang memang khusus untuk makan. Jadi semacam “dianak-anakke” kalau orang Jawa bilang. Meja itu adalah meja set untuk sofa. Jadi, itu adalah meja yang berkaki pendek. Dan kami duduk di bawah. Hehehe. Lucu juga.


Selama di sana, mereka sering bercakap-cakap dengan bahasa Kek. Dan parahnya, aku cuma tahu kata “sit fan” alias makan. Hahaha! Lainnya aku tidak tahu. Dan komunikasiku yang lancar hanya dengan tuan rumahnya. Anggota keluarga yang lain ngobrol juga sih denganku. Awalnya memang pakai bahasa Indonesia, tetapi nanti setelah ada orang lain selain aku, otomatis bahasa mereka pun bercampur-campur. Hehehe. Nanti setelah tidak beberapa lama kemudian, inti yang mereka obrolkan, diterjemahkan ke bahasa Indonesia.


Awalnya aku agak protes sih. Tetapi kemudian aku sadar bahwa hal ini sudah “otomatis”, bukan disengaja agar aku tidak mengerti. Ya, seperti kalau kita di Jawa, yang otomatis mengobrol pakai bahasa Jawa kalau dengan anggota keluarga kita yang lain. Jadi bisa dikatakan, memakai bahasa daerah sendiri memang lebih afdol. Lebih sreg, lebih nyaman, seperti memakai baju kita sendiri, bukan baju pinjaman orang lain.


Dan tentu saja pengalaman ini berbeda dengan ketika aku bersama-sama dengan teman kantor pergi ke Bali. Aku di sana sama sekali tidak mengalami “culture shock”. Itu kupikir karena aku sama sekali tidak bersentuhan dengan budaya Bali. Aku tinggal di hotel dan ke mana-mana ya dengan rombongan teman satu kantor. Kalaupun bersentuhan dengan budaya di sana, paling-paling sebatas dengan tour guide, penjual suvenir, atau penjual makanan. Selebihnya, it’s fine. Baik-baik saja. Di mana-mana aku masih leluasa ngobrol pakai bahasa Jawa. Wong temen-temen serombongan masih orang Jawa, je! Nggih, to?


Berkunjung ke Bali itu tidak ubahnya seperti kita berkunjung ke TMII (kalau kubilang sih TMIJ = Taman Mini Indonesia Jelek, karena Taman Mini kotor dan tidak teratur!). Di sana kita melihat Indonesia mini, yang diwakili oleh rumah-rumah adat. Asyik sih. Tapi di sana kita tidak bersentuhan dengan budaya daerah itu masing-masing. Kita berpikir, bahwa yaaa, berbeda itu baik-baik saja kok. Tapi kalau kubilang sih, itu baru sebatas toleransi. Kita tidak berempati dan kita tidak mengenal apa dan siapa sih mereka itu.


Selama aku di Belitung, aku baru bener-bener sadar bahwa buku pelajaran Bahasa Indonesia yang kupakai djaman SD dulu, tidak pas untuk diterapkan di sana. Di buku itu, ilustrasi yang dipakai adalah gambaran orang Jawa: Ibu yang memakai kebaya, rambutnya dikonde. Dan nama-namanya pun adalah nama yang biasa kita temui di Jawa: Budi, Wati.


Dan, saat itulah aku sempat merasa malu sebagai orang Jawa. Aku malu dengan orang-orang yang mengatakan bahwa budaya Jawalah yang paling baik. Ya, orang bisa ngomong apa saja sih. Tapi kalau kubilang, setiap budaya memiliki kebaikannya masing-masing. Dan kita tidak bisa memaksakan orang lain mengadopsi budaya yang kita anggap paling baik itu.


Lalu, tadi pagi, pertanyaan “Sudah seberapa pluralkah aku?” kembali muncul di benakku. Dari kecil aku sudah kenal dan hafal di luar kepala apa arti semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tapi toh nyatanya sampai segede ini pun aku masih terbata-bata melakoninya. Dan kupikir, masalah pluralisme adalah masalah kita bersama sebagai bangsa Indonesia, jika kita memang mau tetap “satu nusa, satu bangsa” ....

1 comments:

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) on 3:56 AM said...

Aduh senang ya kalau semua orang bisa mengerti betapa berbedanya masing-masing latar belakang, tapi tetap bisa saling menghargai dan saling melengkapi.

Terima kasih sudah mampir ke blog saya. Blog ini juga menarik sekali!