Saturday, December 22, 2007

Spanduk Ucapan

Hampir setiap hari aku melewati perempatan Kentungan--sekitar Jalan Kaliurang km 6. Dan kalau lampu merah sedang menyala, bisa dipastikan kepalaku langsung menengok kiri-kanan. Jadi, aku cukup bisa mengenali spanduk mana yang baru terpasang, dan mana yang sudah lama nangkring di sana.

Nah, beberapa waktu lalu, aku melihat ada spanduk bertuliskan SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU. Sponsornya KOMPAS. Jujur, saja ... walaupun aku merayakan Natal, rasa-rasanya kok aku tidak tersentuh sedikit pun dengan spanduk ucapan dari KOMPAS itu ya? Tidak ada getaran yang kurasakan babar blas!

Ini aneh nggak sih?

Tapi setelah aku tanya beberapa teman, rupanya mereka juga tidak merasakan apa-apa saat membaca spanduk-spanduk ucapan seperti itu. Kami semua mengamini itu adalah iklan. Ya, betul itu semata-mata cuma iklan. Tidak ada nilai lebih dari itu. Tidak ada muatan informasi di situ. (Lha wong kita semua sudah tahu kan kalau sebentar lagi Natal akan tiba dan pergantian tahun tinggal dalam hitungan hari.) Layout-nya juga biasa. Font yang dipakai di spanduk itu pun tidak istimewa. Ndak ada yang khusus, unik, alias biasa saja.

Lalu? Ya itu adalah iklan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Nah, selain spanduk ucapan selamat Natal itu, aku juga sempat melihat spanduk ucapan Selamat Idul Adha. Komentarku sih sama. Itu lagi-lagi iklan yang dibuat oleh Karita--toko busana muslim yang ada di sekitar Terban. Uucapan itu ditulis dalam sebuah banner yang terbuat dari plastik. Ini memang sedang marak. Maksudku, sekarang orang lebih suka menggunakan banner yg terbuat dari plastik (selain lebih awet, jatuhnya lebih murah). Yang membuatku agak "ngganjel" waktu melihatnya sih terutama karena banner itu terbuat dari plastik.

Kita kan sedang berusaha menangani pemanasan global. Lha kalau banner itu terbuat dari plastik, itu kan sama saja kita menambah sampah yang sulit untuk didaur ulang oleh bumi. Dengan kata lain, ini sebenarnya--disadari atau tidak--menambah masalah.

Sebenarnya, ucapan-ucapan itu semua untuk siapa sih? Kalau kami yang membacanya tidak merasakan dampaknya, tidak juga merasa bergetar saat membacanya, lalu buat apa?

Tapi waktu aku cerita hal ini ke seorang temanku, si Aat Poank, presenter acara SANTAP di RBTV, dia bilang begini, "Untuk semua perasaan tidak enak yang kamu rasakan itu, kayaknya kamu yang salah deh." Hehehe ... mungkin aku yang salah. Tapi kalau dari kacamataku, aku bilang spanduk-spanduk itu USELESS. (Sorry ya At, walaupun kita sama-sama Gemini, kali ini kita berbeda pendapat :D Nggak apa-apa kan?)

Tuesday, December 18, 2007

Kepercayaan

Sebenarnya masalah kepercayaan itu simpel. Ini seperti ketika kita memutar keran dan yakin seyakin-yakinnya bahwa air bakal mengucur. Atau semudah kita meletakkan pantat ke sebuah kursi dan percaya bahwa kursi itu cukup kuat menahan berat tubuh kita.

Tapi rupanya kepercayaan itu gampang-gampang susah. Nggak semudah membuka kulkas dan lampu kuning di dalamnya langsung menyala. Seringnya aku malah berpikir terlalu lama untuk memercayai sesuatu. Percaya ke orang salah satunya.

Dan yang jadi soal adalah, ketidakpercayaanku ini berlaku pada orang yang memiliki kuasa terhadap aku. Tepatnya yang bekerja sama denganku--kalau mau pakai istilah yang lebih "terhormat". Rasanya belakangan ini kepercayaanku semakin tipis--setipis tisu yang kena air langsung hancur.

Duh!

My dear friend(s), I really do not understand what's in your head!

Monday, December 17, 2007

Wajib Belajar?

Entah kenapa baru-baru ini aku jadi "ngganjel" kalo merenungkan slogan WAJIB BELAJAR. Aku lupa siapa yg mencanangkan slogan ini. Entah pemerintah. Entah departemen pendidikan. Atau cuma Pak Lurah. Suer, lupa.

Kenapa aku ngganjel?

Begini, aku bertanya-tanya, "Apakah belajar itu wajib?" Memang, setiap orang itu butuh belajar. Tapi apakah itu wajib? Aku terus-terang agak alergi sama istilah "wajib". Kesannya maksa. Tapi betul aku akui bahwa setiap orang butuh terus belajar. Itu sebenarnya sudah menjadi "panggilan" hidup masing-masing orang.

Tapi masalahnya, proses belajar itu tidak selamanya gampang. Mudah. Mulus. Kadang-kadang (atau malah sering, ya?) tidak enak. Belajar berarti mendobrak kenyamanan kita. Salah satu konsekuensi dari belajar adalah menerapkan apa yg kita pelajari, mengubah diri menjadi pribadi yg lebih baik. Ini kan nggak mudah. Orang kudu menghancurkan kebiasaan2 buruk yang bisa menghambat diri sendiri dan orang lain. Nah, yg begini ini yg nggak bisa diwajibkan. Soalnya, nggak semua orang mau. Nggak semua orang mau melewati proses yg "menyakitkan".

Kalau kemudian belajar menjadi "wajib" ... akhirnya orang hanya terpaku pada hasil--pada "Berapa IP-mu?", "Kamu juara apa enggak?". Itu semua tidak membuat orang menjadi pribadi yg lebih baik. Tidak membuat orang menjadi lebih bijaksana.

Setiap orang memang perlu belajar. Itu kebutuhan. Tapi tidak bisa dipaksakan. Ibarat kalau orang perlu makan, tetapi kalau kita dipaksa makan, itu kan tidak enak, to?

Itu semua pendapatku lo... Orang lain boleh punya pendapat yg lain.

Thursday, December 13, 2007

Siapa yang Beli?

Beberapa bulan yang lalu, aku dan seorang sahabat jalan-jalan ke Bandung. Dan mampirlah aku ke Paris van Java. Niatnya sih nonton. Tapi setelah nonton, kami lapar. Makan apa ya? Lalu, demi memenuhi perut yang lapar, kami mencari tempat dan, tentunya, makanan yang sepertinya pas untuk mengisi perut yang sudah dang-dutan ini.

Keliling punya keliling, sebagian besar yang kami temukan adalah stand2 yg menjual barang mahal bermerek dan kafe-kafe yang makanannya kurang mengenyangkan. (Harap maklum, di dalam perut kami ada naganya, jadi butuh makanan porsi besar hehehe.)

Melihat itu semua kok aku akhirnya merasa capek ya. Aku juga jadi bertanya-tanya, siapa sih sebenarnya yang beli barang-barang mahal itu? Apa iya, semua benda mahal semacam tas, sepatu, handphone, dll itu, harus semahal itu? Apa iya sepotong kulit sintetis yang dijadikan tas itu harganya sampai ratusan sampai jutaan? He?

Aku jadi ingat, dulu pas aku dan beberapa teman main-main ke mal, temanku naksir sepatu yg harganya beberapa ratus ribu. Buat kami, itu harga yg mahal. Dia lalu bilang begini, "Wah, gajiku sebulan tuh ternyata cuma seharga 3-4 pasang sepatu ya!" Hehehe. Padahal, kami masuk hampir tiap hari. Dari jam 8 sampai jam 4. Belum lagi kalau ada yg lembur atau harus mengerjakan pekerjaan di rumah. Tapi ternyata kok semua itu cuma setara dengan 3-4 pasang sepatu, ya?

Lalu, kembali ke barang-barang bermerek yang nangkring di pusat perbelanjaan itu, siapakah yang membeli mereka? Kalau kami, karyawan yang rajin bekerja ini gajinya hanya cukup untuk ditukar 3-4 pasang sepatu, bagaimana dengan orang-orang yang sampai sekarang masih belum tahu mau makan apa besok pagi?

Sahabat saya yang menemani saya berjalan-jalan itu akhirnya bilang, "Dunia ini sebenarnya bisa bertahan hanya kalau kita hidup hemat." Betul juga. Lha kalau dipikir-pikir, salah satu alasan mengapa keadaan bumi ini makin sekarat kan karena kita terlalu tamak. Tidak hemat. Iya to?

Tuesday, December 04, 2007

A Good Year: Kebijaksanaan yang Tersembuyi

Semalam akhirnya terjadilah reuni kecil-kecilan para cucu keluarga Hartono; sama satu buyut juga ding, Bu Dokter Sita. Dan akhirnya kami menonton film dengan "dicukongi" Om Siswo (makasih ya Om! Sering2 ke Jogja deh kalo gini hehehe). Kami menonton A Good Year.

Kami berjejal di deretan tengah bioskop 21, Ambarukmo Plasa. Sip! Walaupun sudah lewat jam tidurku, ternyata mataku masih bisa melek juga. Yang membuatku betah nonton adalah pemandangan daerah Luberon, Provence yg adem dan membuatku serasa ingin terbang ke sana lalu menyusuri kebun anggur itu. (Kapan ya bisa sampai sana? Rasanya pemandangan desa itu sampai siang ini masih nancep di kepala nih! Aku jadi membayangkan bagaimana kalau aku tinggal di sana dan menulis. Wah! Ada yang mau membawaku sampai ke sana nggak ya? Hehehe.) Selain itu, film itu mengandung pesan-pesan yang walaupun sudah "uzur", tapi membuatku tercengang lagi dan akhirnya mendorongku untuk ngeblog lagi.

Satu pesan dari Uncle Henry ke Max Skinner kecil adalah ketika si Max disuruh menari-nari walaupun dia kalah main tenis dengan sang paman. Max jelas-jelas menolak, dong! Wong kalah kok suruh njoget. Yang bener aja, Pakde! Tapi Uncle Henry itu bilang--kurang lebih--begini, "Menarilah kalau kamu kalah. Soalnya kekalahan memberimu banyak kebijaksanaan daripada kemenangan, walaupun kemenangan itu memang rasanya lebih enak. Bagaimanapun kekalahan harus dirayakan!"

Wah!

Dia juga bilang, "Kalau kamu udah nemu sesuatu yg bagus, kamu harus menjaganya." Itu dia sampaikan ketika dia menyuruh si Max kecil mengetes anggur.

Melihat film itu membawa getaran tersendiri. Rasanya kebijaksaan Uncle Henry itu pas banget buat aku. Kadang aku terlalu membedakan kekalahan dengan kemenangan. Aku menganggap kemenangan (di dunia ini tentunya), jauh lebih baik daripada kekalahan. Memang pahit sih waktu kita tahu bahwa ternyata kita kalah. Tapi coba tunggu sebentar, bukankah kekalahan membuat kita bijaksana? Dan bukankah itu sangat kita perlukan untuk bekal menjalani hidup ini. Kebijaksanaan tidak bisa dipelajari seperti kita belajar di sekolah. Enggak. Kita enggak cukup dengan membaca Alkitab atau buku2 yang penuh kebijaksanaan lainnya. No, no, no! It's not enough. Semua yg kita baca itu baru teori. Praktiknya ya bagaimana sikap kita kalau kita menemui sesuatu--entah kekalahan, entah ketidaknyamanan, entah kemenangan, entah kegembiraan.

Ini bukan perkara mudah. Ini tidak beda jauh dengan kenyataan bahwa walaupun kuping ini sudah puluhan, bahkan ribuan kali mendengar supaya kita harus saling mengasihi, tapi ternyata kalau aku ketemu orang yang nyebelin, rasanya aku masih sulit banget untuk bisa mengasihinya. Rasanya pengen jauuuuh aja sama dia. Capek sih! Tapi apakah itu sikap yang baik?

Eh, tapi film itu bagus. Memang tidak sampai bintang lima sih. Tapi enggak rugi kok kalau nonton. Apalagi kalau ditraktir hehehehe! (Makasih ya Om!)

Monday, November 26, 2007

Belanja ... Belanja di Beringharjo

Suatu pagi, aku terheran-heran ketika ternyata baju kerjaku banyak yang kekecilan! Aduh. Aku bingung, kenapa badanku jadi selebar ini ya sekarang? Padahal aku tak pernah berpikir bahwa berat badanku bisa bertambah sampai lebih dari tiga kilo. How come?

Dan akhirnya aku harus menurunkan pangkat baju-bajuku. Duh, sedih juga. Soalnya, beberapa adalah baju kesayanganku. Ada baju kotak-kotak biru. Ada baju bergambar boneka. Ada yang kembang-kembang buatan ibuku. Hiks :(

Akhirnya, siang itu aku blusukan ke Pasar Beringharjo. Niatnya sih beli baju yang murah meriah. Namanya juga pasar, jadi biasanya harganya bisa ditawar. Nah, sampailah aku di sebuah kios baju batik yang lumayan besar.

"Yang lengan pendek ada nggak Mbak?"
"Oh, ada. Ada mbak." Seorang temannya lalu menurunkan beberapa potong baju dengan berbagai model. Kayaknya modelnya boleh juga nih, pikirku.
"Ini batik cap Mbak, jadi baliknya juga ada motifnya. Lagian ini bagus buat kantoran," kata si mbak sambil promosi.
"Ini berapa, Mbak?" tanyaku sambil menunjuk baju yang dipromosikannya itu.
"Empat lima," jawabnya pendek.
Aduh, mahal betul. Apa bedanya sama beli di toko? Setahuku, kalau belanja di Beringharjo kita harus pintar menawar. Paling tidak separonya.
"Tujuh belas ribu boleh nggak, Mbak?"
"Tujuh belas? Lah, buat kulakan aja nggak bisa, Mbak!" katanya pedas.

Yee, namanya juga nawar. Kalau nggak boleh, nggak usah sewot dong. Dan aku pun segera pergi. Bodo amat sama si mbak yang sedang panas itu.

Lalu, sampailah aku di sebuah kios yang cukup kecil. Di situ penjualnya seorang ibu. Sepertinya sih kalau ditilik dari logatnya, dia bukan orang Jawa. Kupikir, aku tak akan berlama-lama di situ. Wong kiosnya kecil. Pasti dia tidak punya model baju yang aku inginkan.

"Silakan, Mbak," katanya ramah.
"Yang ini berapa, Bu?" tanyaku iseng.
"Yang ini dua lima saja," katanya masih dengan nada ramah.
Wah, boleh juga nih. Lumayan murah. Siapa tahu bisa ditawar.

Dan ibu ini sangat ramah. Dia melayani aku dan Tesa dengan sabar. Bahkan dia menggelar hampir semua dagangannya yang tidak banyak itu. Harga yang ditawarkannya pun cukup miring. Hmmm, akhirnya kami membeli baju di situ!

Setelah dari situ, aku berpikir bahwa sikap positif itu bisa membuka rejeki. Dilihat dari pengalaman kami, kami kepincut oleh keramahan dan pelayanan yang baik oleh ibu tadi. Sayangnya tidak semua penjual menerapkan hal ini. Mereka sekadar mencari untung banyak. Mereka tidak memedulikan perasaan si pembeli. Padahal, kalau pembeli dilayani dengan baik, mereka tidak akan kapok untuk berbelanja di situ. Bahkan mereka bisa woro-woro ke teman-temannya supaya ikut berbelanja di situ. Promosi yang efektif kan?

Kupikir, aku akan mencari ibu tadi kalau mencari batik di Beringharjo. Ia tidak memasang harga tinggi dan pelayanannya pun memuaskan ....

Monday, November 19, 2007

My Beloved Cicing

Akhirnya, ibuku memelihara anjing. Hore!!! Namanya Cicing. Bulunya cokelat muda. Dia seneng banget kalo dielus2 perutnya.

Tahu nggak, dia adalah salah satu alasanku pulang ke Madiun. Hehehe :D

Friday, November 16, 2007

Hidup yang Hampa (?)

Kalo kumat isengnya, aku jalan2 menelusuri list friends-ku. Kadang aku bertemu dengan teman-teman semasa sekolah dulu. Hmmm... sebagian dari mereka sudah ke "mana-mana". Ada yg kuliah di Amrik, ada yg berfoto dg latar belakang tembok raksasa Cina, ada yg berfoto dengan latar negara-negara Eropa sono....

Aduh maaaak, jebul aku baru sampai di sini-sini saja to? Bertempat tinggal di Jogja yang katanya suasananya damai dan tenteram. (Padahal sekarang macetnya sudah mulai tak tertahankan, dan panasnya juga cukup menyengat.) Dari kota kelahiranku, Jogja itu cukup ditempuh sekitar 2,5 jam kalau naik kereta Sancaka. Kalau naik bus Sumber Kencono kira-kira ya, 4-5 jam lah! Tidak terlalu jauh. Orangtuaku pun kalau mau bertemu dengan anak-anaknya tercinta sangat gampang. Penak.

Lalu, lha kok jebul teman-temanku sudah mak...leeeng numpak pesawat sampai ke kota-kota belahan lain dari dunia yang katanya cuma selebar daun kelor ini ya? Lah aku?

Hehehe... ya, memang setiap orang tuh selalu punya kecenderungan untuk menganggap orang lain hidupnya jauh lebih enak. Lebih tenteram. Lebih indah. Lebih bahagia. Menganggap kalau hidup di luar negeri itu lebih mulyo, lebih enak. Apa iya sih?

Jujur saja, aku kadang juga berpikir begitu. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah "Lha njuk ngopo?"

Aku jadi ingat cerita Mas Budi kemarin tentang temannya yg kaya raya--sugih mblegedu. Belum lama mereka mengobrol dan akhirnya temannya yg kaya itu akhirnya mengatakan bahwa hidupnya hampa. Memang sih segala fasilitas mereka punya. Gampangannya, duit selalu "ngetuk" dan tinggal mengeruk di ceruk lemari. Enak to? Tetapi mengapa hampa? Aku ndak tahu, je.

Pertanyaannya lagi: "Apakah hanya orang kaya yg bisa merasa hampa?" Wo, jangan salah. "Penyakit kehampaan" itu bisa menimpa siapa saja. Kurasa masalah hampa atau tidak hampa itu masalah bagaimana orang melihat hidup, bagaimana perspektif hidupnya, dan bagaimana imannya. Itu menurutku lo... (yg bukan siapa-siapa ini, hehehe).

Lalu, aku jadi ingat lagi kisah tentang seorang pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus, "Tuhan, bagaimana sih supaya aku dapat memperoleh hidup kekal?" Pertama-tama Yesus meminta supaya anak muda itu menuruti perintah Allah; mulai dari jangan membunuh sampai mengasihi sesamamu manusia. Ternyata anak muda itu sudah menuruti semua itu. Akhirnya Yesus bilang, "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku."

Kupikir-pikir dunia ini menawarkan begitu banyak pilihan kepada kita sehingga kita bingung harus memilih yang mana. Bahkan untuk sesuatu yang jauh lebih berharga, kita sangat sulit untuk membuat pilihan yang tepat. Seperti pemuda kaya itu, kupikir yang dimaksud Yesus adalah agar pemuda itu tidak meletakkan hatinya kepada seluruh kekayaannya. Melepaskan segala kelekatannya dari seluruh kepemilikkannya yg fana.

Sulit memang. Dan aku pun masih belajar untuk itu. Padahal hartaku enggak banyak2 amat. Hehehe. Gimana kalau banyak ya?

Monday, November 12, 2007

Hujan

Hujan. Mendung. Dua hal itu kadang dengan mudah membuatku membatakan rencana. Takut kehujanan, alasanku.

Lalu, ketika melihat mendung yang begitu pekat dan hujan yang mulai turun, aku pun dengan mudah merasa "blue". Rasanya jadi males. Lalu ingat kejadian-kejadian masa lalu yang kurang menyenangkan di bulan yang penuh mendung ini. Hmmmfff!

Betapa mudahnya aku dipengaruhi oleh hal-hal di luar diriku. Padahal, kalau dipikir-pikir, apakah hari yang cerah jauh lebih baik daripada hari hujan? Mungkin, bagiku memang iya. Soalnya aku bisa main ke mana-mana tanpa takut kedinginan dan kehujanan. Hehehe. Tapi bukankah hujan juga diperlukan oleh para petani? Kalau panen mereka gagal, kita juga yang kena imbasnya.

Lagi pula, bukankah setiap hari aku belajar bahwa sukacita yang sejati itu muncul dari dalam batin kita? Kurangkah kasih karunia Tuhan sehingga aku mesti bersungut-sungut karena sesuatu yang terjadi di luar diriku seperti hujan dan mendung?

Tuhan, bantulah aku untuk selalu mengarahkan pandangan kepada Engkau ...
Tresna

"Saya dataaang!"
Jujur saja, aku kadang kangen mendengar teriakan Tresna dari balik pintu ruangan kantorku. Anak itu tidak pemalu dan mudah sekali akrab dengan kami. Dia ikut ayah dan ibunya yang sedang membuat film untuk kepentingan departemen PSG. Dia tidak sungkan-sungkan untuk bergabung dengan kami padahal dia tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia karena sudah lama tinggal di Perancis. Tetapi dia berusaha untuk berbicara dengan kami dengan kosakatanya yang kadang masih terbatas.

Aku belajar satu hal dari Tresna. Dia itu tulus. Ketika dia masuk ke ruangan kami, dia menampilkan keluguan seorang bocah. Kadang dia memang agak nakal, tetapi kami tidak sampai hati untuk memarahinya karena dia ketika melakukan kesalahan dengan polosnya kemudian berkata, "Saya (minta) maaf. Saya tidak tahu."

Kerendahan hati. Kejujuran. Itu yang kadang masih belum aku miliki. Terlalu banyak hal yang membuatku kadang merasa gengsi untuk meminta maaf dan mengakui bahwa aku memang tidak tahu apa-apa.

Aku perlu belajar dari Tresna.

Saturday, October 27, 2007

Apa yang Penting?

Kemarin sore aku melihat iring-iringan pawai sebuah perusahaan mobil dan motor. Motor dan mobil mereka dikendarai berderet2. Mobil-mobil yang dikendarai itu paling2 isinya 2-3 orang. Malah ada yg cuma 1 orang alias sopir doang.

Selama aku menanti pawai itu lewat, aku bertanya2, "Apa ya yang dipikirkan oleh orang2 yg berpawai itu? Apakah mereka senang? Bahagia? Bangga? Hmmm ... apa ya?" Trus, pawai itu menghabiskan bensin berapa liter? Apa dampak positif bagi orang-orang di sekitarnya yang melihat pawai tsb?

Bagiku sendiri, rasanya nggak ada dampak apa-apa tuh. Malah kupikir, ini kok kurang kerjaan banget ya pawai sore2? Pas jam pulang kantor lagi.

Lalu aku berpikir, apa sih yang penting dalam hidup ini? Apakah pawai seperti itu betul-betul penting dan berdampak bagi kekekalan? Jawaban mudahnya sih tidak. Jadi, rasanya di tengah hiruk-pikuknya kehidupan, di tengah banyaknya pilihan hidup, kita harus pandai2 membuat prioritas. Tidak mudah sih. Tapi bisa dicoba. Let's try!

Thursday, October 25, 2007

Resep Pacaran Ala Suster Ben

A= Aku
S= Kakak sepupuku

A: Mbak, dua minggu lagi N mau nikah lo.
S: Oya? Sama cowok yang dulu pernah diajak ke sini itu ya?
A: Bukan. Temen gerejanya di Klaten.
S: Owww ... Jadi laen lagi ya?
A: Iya ...

Temanku N mau menikah. Bukan, bukan dengan cowok yang jadi pacarnya waktu dia masih di asrama dulu. Bukan. Dia mau menikah dengan cowok teman gerejanya di Klaten.

Prosesnya dia ketemu dengan cowok itu aku tahu. Cuma sekelumit sih. Tapi, tahulah. Dulu dia sempat pacaran dengan seorang cowok. Trus, karena satu dan lain hal, mereka akhirnya putus. Dia cukup terluka karena peristiwa itu. Tidak menyenangkan memang. Tapi, kurasa memang ada baiknya putus, karena kalau diteruskan cuma saling menyakiti. Capek lahir batin.
Temanku itu sudah pacaran berkali-kali sebelum ketemu dengan calon suaminya sekarang. Beberapa kali pula dia patah hati, jatuh cinta lagi, dan patah hati lagi. Capek deeeh ....

Melihat hal itu, aku jadi ingat nasihat Sr. Ben--ibu asramaku dulu. Dia dulu sering berkoar-koar kepada kami anak-anak asrama yg bandel-bandel ini untuk tidak buru-buru pacaran. Kalau pacaran nanti saja kalau sudah semester 5. Mendengar nasihat itu kami biasanya justru mencibir, "Yeee, Suster kuno ah! Masak pacaran nunggu sampai kita mau lulus kuliah? Kalau sebelum semester 5 ada cowok yang pas di hati, apa salahnya pacaran?" Masak nolak rejeki sih? Hehehe.

Tapi semakin hari, aku jadi bisa memahami nasihat Sr. Ben itu. Aku kini mengerti bahwa nasihatnya itu bukan untuk menghalangi kami untuk merasakan kebahagiaan, tetapi justru membantu kami agar tidak merasakan sakit hati yang tidak perlu. Temanku pernah bilang, risikonya orang pacaran itu ada dua: kawin atau putus. Kalau putus, berarti patah hati. Dan patah hati itu sakit.

Ketika kuliah, rasanya dunia kerja itu sudah deket banget. Rasanya lulus itu cuma beberapa hari lagi, trus nanti kerja, habis kerja, nanti nikah. Nah, sudah deket kan? So, apa salahnya pacaran sejak awal duduk di bangku kuliah?

Masalahnya, waktu itu relatif. Dan perjalanan dari kita kuliah sampai siap menikah itu bisa panjang, bisa pendek. Bisa panjang, karena untuk menikah itu dibutuhkan kedewasaan. Itu butuh waktu dan pengalaman juga kan?

Sekarang aku bisa mengatakan bahwa si X yang dulu kutaksir setengah mati dan membuatku serta merta mengatakan, "Aku mau deh menikah sama dia", sekarang tidak lagi masuk hitungan. Tidak, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa dia bukan cowok baik-baik. Tetapi seiring berjalannya waktu, aku menjadi tahu bahwa minat dan tujuan hidup kami berbeda. Cara pandang terhadap hidup dan masa depan kami juga sangat berbeda. Kalau diteruskan, rasanya malah saling menyakiti. Masak kita menikah malah nggak bahagia? Enggak lucu dong.

Dan kini aku berpendapat bahwa memilih pasangan hidup adalah soal mencari sahabat jiwa. Mungkin bisa dibilang, ini soal mendapatkan orang yang memiliki tingkat spiritualitas sama. Tidak hanya seagama, lo. Tapi lebih pada bagaimana kita bersama pasangan kita dapat sama-sama bertumbuh secara rohani. Ini penting kurasa.

Sr. Ben memang memiliki patokan semester 5 untuk boleh pacaran. Tetapi yang penting adalah kematangan pribadi. Bisa jadi, ketika semester 5 orang belum dewasa betul. Karena itu, kupikir tidak perlulah buru-buru pacaran dan mengucapkan janji setia. Kita mesti menelaah diri betul, benar-benar mengenal diri kita, dan kita pun perlu berpikir panjang saat memilih seseorang sebagai pasangan hidup.

Monday, October 22, 2007

My Dream: Perpustakaan

Aku membayangkan, suatu saat nanti aku punya perpustakaan yang dibuka untuk umum. Isinya buku-buku bagus dan bisa nambah pengetahuan. Enggak cuma komik jepang saja. Tetapi komik-komik ilmu pengetahuan. Dan sebagian komik-komik bikinanku. Hmmm .... Kapan ya bisa begitu? Hehehe

Wednesday, October 03, 2007

Hari-hari Ini

Hari-ini aku merasa keinginanku untuk menjadi freelancer semakin kuat. Rasanya setiap hari selalu saja hatiku merengek supaya aku segera "bertindak". Do something. Lebih mengaktualisasikan diri dan benar-benar mewujudkan apa yang selama ini cuma ada di pikiran.

Tapi bagaimana ya? Kok aku masih takut. Rasanya aku seperti harus meloncat dari sebuah pesawat terbang dan khawatir kalau-kalau parasutku tidak akan mengembang. Lha kalau itu yg terjadi, kan ciloko betul.

Duh, tolongin aku dong!!!

Tuesday, September 25, 2007

Jogja Kota (Ter)Pelajar?

Beberapa hari ini aku sengaja pulang selewat jam buka puasa. Soalnya, aku males banget kalau harus mengarungi kemacetan yang terjadi di seputar UGM dan sekitar Gejayan. Kalau yang memenuhi jalanan itu sepeda ontel dan becak, mungkin masih mending. (Mungkin lo! Soalnya mereka kan enggak mengeluarkan asap knalpot yang bikin sesak napas? Paling-paling cuma bau keringat, yang bakal hilang baunya kalau diguyur air plus sabun ketika mandi hehehe.) Masalahnya, yang berjubel di jalanan itu justru bus kota, mobil, dan sepeda motor. Asap dari knalpot2 itu membuat udara menjadi semakin panas. Dan sepertinya hidungku ini mendadak perlu disambungkan dengan tabung oksigen. Duh, berat di ongkos kan kalau naik motor saja perlu beli tabung oksigen? :p

Kemacetan itu kupikir disebabkan oleh banyaknya motor yang diparkir di seputar bunderan UGM. Motor-motor dan orang-orang yang nongkrong di situ sampai menutupi hampir separo jalan! Ditambah lagi berpuluh gerobak penjual makanan juga ikut nangkring di situ. Sampai-sampai aku heran, kenapa justru di bulan puasa justru makin banyak penjual makanan ya? Kayaknya kok enggak cocok banget dengan tujuan puasa itu sendiri. Ya memang sih, jualannya menjelang buka puasa di mana orang butuh membeli makanan untuk berbuka. Tapi apa enggak bisa sih makan seperti biasa? Kenapa mesti berjubel dalam rangka berjual-beli sehingga membuat repot orang lain?

Eh, sampai mana tadi? Oiya ... begini, yang aku herankan adalah kenapa kemacetan itu terjadi di sekitar kampus (dalam hal ini UGM)? Mestinya kan kalau di "daerah intelek" seperti itu, keadaan sekitarnya jadi kecipratan "intelek" juga dong. Begitu logika bodohnya. Tapi kok ya, justru di sekitar itu justru terjadi kemacetan yang amat sangat? Apa yang salah sih? Kenapa para mahasiswa di situ tidak bisa membuat perbedaan yang membuat orang di sekitarnya menjadi lebih nyaman?

Dan kalau menilik keadaan lalu lintas secara lebih lebar lagi, Jogja yang menyandang predikat kota pelajar, tidak menunjukkan "keterpelajarannya". Jogja mulai macet dan banyak pengendara motor yang ugal-ugalan.

Mungkin bisa saja dibilang bahwa predikat kota pelajar ini karena di Jogja terdapat banyak kampus. Tetapi kan kalau banyak kampus, semakin banyak orang yang menikmati pendidikan. Dan idealnya, jika pendidikan itu di sekolah formal itu ada dampak positifnya, paling enggak keadaan di masyarakat sekitar menjadi semakin baik dong. Tapi ternyata kok enggak ya? (Lalu apa gunanya sekolah dong?)

Sunday, September 16, 2007

Milis Orang Dodol

Aku kok agak-agak "ilfil" dengan sebuah milis yang ngakunya akan mengembangkan anak-anak muda. Beberapa postingannya benar2 membuat "ilfil" dan membuatku mempertanyakan maksud dibuatnya milis itu.

Friday, September 14, 2007

Global Warming: Peringatan yang Sudah Terlambat

Beberapa waktu belakangan ini, isu global warming benar-benar warm (atau mungkin sudah enggak warm lagi, tapi sudah benar-benar hot). Aku beberapa kali mendapat forward e-mail yang isinya serupa. Intinya sih supaya kita benar2 hemat energi, mesti cermat betul dalam menggunakan sumber daya yang ada.

Kalau kupikir-pikir, barangkali bumi ini mirip orang yang sudah divonis kena kanker stadium lanjut. Yang harapan untuk hidupnya tinggal beberapa bulan lagi. Kalau pengobatan kemoterapi, diet makanan, olahraga, serta dukungan orang-orang di sekitarnya tidak dipadukan dengan penuh kecermatan, jangan harap bisa ketemu dengan cucu, buyut, cicit, canggah, gantung siwur, dan seterusnya. Jadi ini memang genting.

Tapi sebenarnya, hal-hal yang mengancam kita sekarang sebenarnya bisa direduksi atau bahkan dihindari jika manusia sejak awal bisa berpikir panjang dan bijak. Misalnya, kita sebenarnya bisa saja lebih memberdayakan energi surya, angin, air, tentu kita enggak ribut jika harga minyak bumi melambung. Listrik di rumah2 pakai tenaga surya semua. Rumah tangga masing-masing mandiri dalam hal pasokan listrik. Asyik kan?

Saat ini orang-orang mulai ada yang menolak tas kresek jika berbelanja di supermarket atau pasar. Ini oke sih, aku mendukungnya. Tapi pertanyaannya, kenapa baru dilakukan sekarang? Kenapa enggak dari dulu-dulu? Kalau produksi plastik sangat dibatasi, tentu sungai-sungai di Jakarta dan kota-kota besar lainnya tidak akan penuh dengan sampah non-organik ini kan?

Dan kini, sampah yang tidak bisa terurai sudah begitu menumpuk. Kita sudah kewalahan. Pasokan energi pun sudah mulai seret. Lalu, orang-orang mulai panik karena bumi sudah semakin panas. Akhir dunia (mungkin) sudah dekat, karena (jangan-jangan) kita sendirilah yang mempercepatnya.

Thursday, September 06, 2007

Macet di Jogja

Naik motor di Jogja, siang hari, bisa bikin emosi deh. Rasanya keadaan lalu lintas di Jogja sudah mulai "ketularan" Jakarta. Mulai macet, walaupun belum separah di Jakarta. Masih bisa jalan, walaupun lambat dan mesti rela berpanas-panas. Duuh!

Trus, aku jadi berpikir, kenapa ya bisa seperti ini? Kenapa coba? Apakah orang sudah begitu kelebihan uang sehingga mereka memilih untuk membeli kendaraan pribadi? (Entah mobil atau motor.)

Lalu aku jadi berpikir, mengapa aku membeli motor juga? Kenapa enggak memilih untuk naik kendaraan umum?

Jawaban singkat dan mudahnya adalah: Biar bebas ke mana-mana. Tidak tergantung pada kendaraan umum yang enggak nyaman. Belum lagi mesti nunggu lumayan lama untuk jalur-jalur tertentu. Waktuku habis!

Tapi kupikir, ini ada hubungannya dengan hukum tabur tuai. Apa yang dulu kita tabur, sekarang kitalah yang menuainya. Begini, coba kalau dulu pemerintah lebih mementingkan kualitas kendaraan umum, tentu tidak begini akibatnya. Kalau Jogja memiliki tata ruang kota yang baik, tentu tidak begini akibatnya. Kalau kepentingan rakyat diutamakan, tentu tidak begini akibatnya. Semua itu mungkin berawal dari kesalahan-kesalahan kecil yang dibuat oleh pemerintah yang pernah memerintah sejak dulu sampai sekarang--dan segelintir orang pemilik modal.

Ada banyak yang dikorbankan jika orang lebih mementingkan kepentingan "daging"--dengan berbagai alasan. Padahal, apa sih untungnya? Mungkin ini seperti permainan monopoli. Duit ditumpuk-tumpuk, beli fasilitas di sana-sini (supaya anak cucu tidak kekurangan makan), dan seterusnya dan seterusnya.

Tapi semua itu semu. Semuanya tidak membawa kita ke mana-mana.
Being Single and Happy!

Kemarin aku baru menyadari kalau teman-teman seangkatanku sudah banyak yang menikah. Sebagian sudah memiliki anak, satu..., dua..., atau bahkan sampai tiga ya? Dan aku? Masih single dan menikmati hidup (being single and happy--meminjam tag yang dipakai GPU untuk buku2 chicklit).

Kupikir, menjadi perempuan single itu enak juga. Ini menurut pengalamanku sendiri lo. Begini, aku bisa main ke mana saja sesukaku. Menikmati gaji dan menggunakannya sesuai dengan kemauanku. Mau beli kamus yang harganya ratusan ribu, oke. Mau beli buku berapa pun, oke. Mau untuk kongkow-kongkow, oke. Mau memberikan sebagian gajiku kepada orang-orang yang menurutku membutuhkan, oke juga.

Sejauh ini aku tidak merasa kesepian sih. Dan hidup ini terasa ringan. Bahagia.

Terkadang aku tidak mengerti mengapa ada orang yang mengatakan bahwa ia menikah agar bahagia. Apakah orang lajang tidak bisa bahagia? Sangat bisa. Dan aku buktinya he he he.

Wednesday, August 29, 2007

Sortir Waktu

Kadang aku mikir, waktu yang sudah aku habiskan sepanjang hidup ini, sebagian besar habis untuk apa ya? Selain habis buat tidur, hal signifikan apa ya yang sudah kulakukan?

Beberapa waktu lalu, ketika sedang persekutuan doa di kantor, seorang temen bilang: "Kalau orang itu sudah divonis mati karena suatu penyakit, biasanya dia akan berhati-hati dengan tindakannya. Dia bakal menyortir tindakannya--melakukan hal yang baik dan berguna bagi orang-orang di sekitarnya." Kalimat itu dia ucapkan setelah dia bercerita tentang seorang wanita yang menderita tumor otak dan dokter sudah mengatakan bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Wanita itu lalu meminta sang dokter merahasiakan penyakitnya itu kepada keluarganya. Maka, wanita itu pun mulai membuat surat kepada masing-masing anaknya dan memberikan nasihat terbaik. Dia juga melakukan hal-hal yang berguna dan tidak membuang waktu begitu saja.

Kalimat yang diucapkan temanku itu terngiang-ngiang di benakku. Sampai sekarang.

Memang aku tidak tahu sampai kapan aku dapat beraktivitas di dunia ini. Dengan kesehatan yang cukup seperti ini. Dengan teman-teman dan orang-orang dekat yang membantuku. Dengan kesegaran pikiran yang kumiliki seperti saat ini. Dengan banyak hal yang menolongku, yang kadang tidak aku sadari.

Rasanya memang tak perlu menunggu aku divonis penyakit maut untuk menyortir waktu, untuk melakukan kebaikan dan memberi arti bagi banyak orang. Tapi kadang memang keinginan manusiawi kita susah untuk diajak kompromi. Pas ketemu temen yang nyebelin dan berkelakuan minus, mulut ini rasanya gatel kalau enggak ngrasani (jadi apa bedanya kita sama dia ya? sama-sama minus kelakukannya, hehehe). Pas punya banyak uang, kita hambur-hamburin sesuka hati, enggak ingat sodara2 yg sedang kesusahan dan ogah untuk berbagi. Dan seterusnya ... dan seterusnya.

Aku jadi inget kata-kata Bunda Teresa: Yesterday is gone. Tomorrow has not yet come. We only have today. Let us begin. Kita cuma punya waktu "saat ini", bukan nanti. Bukan tadi. Bukan besok. Bukan kemarin. Tetapi kini, dan di sini. Tak ada jaminan yang mengatakan bahwa usia kita masih panjang. Jadi, lakukan yang terbaik--sekarang!