Saya memutuskan untuk pindah ke rumah baru:
http://blognyakrismariana.wordpress.com
Silakan dikunjungi :)
Thursday, October 22, 2009
Tuesday, September 29, 2009
Sahabat?
Sore itu HP-ku berbunyi. Nomor tak dikenal. Siapa ya?
"Halo...," terdengar suara seorang laki-laki dari seberang sana. Aku merasa kenal dengan suara itu, apalagi kemudian dia menyebutkan nama kecilku. Ya ... ya ... itu pasti teman lama. Tapi siapa ya?
Oh, ternyata dia T, teman SMP-ku dulu. Tak lama kami pun bernostalgia sejenak. Berkat Facebook, aku akhirnya terhubung dengan teman-teman lama. Menyenangkan. Dua pertanyaan yang sering saling diajukan saat aku bernostalgia dengan teman-teman lama adalah: (1) Masih sering pulang ke Madiun? (2) Sekarang paling sering kontak dengan siapa saja?
Untuk pertanyaan pertama, jawabanku biasanya: Masih. Walaupun sudah di Jakarta, aku tetap suka pulang. Hehe. Untuk pertanyaan kedua, aku biasanya menyebutkan dua orang teman SMP-ku yang sampai sekarang masih berkontak: J dan P. Setelah aku menyebutkan dua nama itu, T lalu bertanya, kamu nggak pernah ketemu lagi sama M?
"Ow, tidak," jawabku.
"Kan dia dulu soulmate-mu," katanya. Hahaha. Aku tertawa mendengar istilah yang dia pakai. Soulmate? Kami memang sering sebangku dulu. Tapi soulmate? Ah, rasanya enggak segitunya deh. Pertanyaan T soal M itu mau tak mau membuatku terlempar ke masa lalu. Perlahan-lahan kenanganku dengan M kembali muncul.
Aku mengenal M ketika pertama kali masuk SMP. Sebenarnya orang tuaku kadang menceritakan soal M. Maklum, M adalah putri teman orangtuaku. Dan ketika kami masuk SMP yang sama, entah bagaimana kami langsung dekat. Kadang aku main ke rumahnya. Tapi dia jarang sekali main ke rumahku. Seingatku dia malah baru sekali ke rumahku. Memang rumah kami agak jauh. Dan waktu itu sepertinya dia ke mana-mana naik becak atau diantar orangtuanya, sedangkan aku lebih suka keluyuran naik sepeda. Jadi, biar jauh, aku datangi juga rumahnya. Kalau kupikir-pikir orang tuanya overprotected terhadap anak perempuannya itu. Entah kenapa. Bisa jadi karena lokasi rumahnya yang cukup jauh itu. Dan jalan ke rumahnya cukup ramai. Seingatku, waktu itu jalan menuju rumahnya dilewati bus antar kota. Tapi aku yang memang hobi bersepeda, menganggap jalanan yang ramai itu tak masalah. Lagi pula Madiun kan kota kecil, jalanan yang ramai itu tidak ramai-ramai banget (jika dibandingkan dengan jalan raya di kota besar seperti Jogja atau bahkan Jakarta). Aku yakin bisa berhati-hati kok.
Banyak orang menganggap kami bersahabat. Tapi kalau ditanyakan kepadaku, aku tak tahu apa jawabnya. Mungkin iya, mungkin tidak. Di satu sisi, aku sebenarnya suka berbagi cerita dengannya. Tapi kok sepertinya dia enggan banyak cerita denganku ya? Satu hal yang aku ingat betul dan hal itu seperti "menamparku" adalah ketika entah bagaimana aku tahu ada seorang anak laki-laki yang suka padanya. Waktu itu, dia tak menceritakan hal itu kepadaku. Dia lebih suka menceritakan hal itu kepada teman kami yang duduknya di belakangku. Aku mendengar gosip tentang hal itu dari teman lain. Waktu kutanya, dia diam saja. Aku merasa sedih karena dia sama sekali tidak bercerita kepadaku soal itu.
Sedih?
Iya, aku sedih. Karena aku biasa menceritakan apa saja kepadanya, tetapi dia tidak melakukan hal yang sebaliknya kepadaku. Saat itu aku memang masih berpikir bahwa yang namanya bersahabat adalah jika kami sama-sama berbagi apa pun itu. Ya, kenyataan itu seperti "menamparku" karena aku merasa hubungan kami tidak seimbang. Sepertinya aku lebih banyak menceritakan rahasiaku kepadanya, tetapi dia tidak mencuilkan rahasianya sedikit pun kepadaku. Rasanya kok gimanaaa gitu. Dan sejak itu aku jadi agak jauh dengan M. Kami hampir tak pernah bertemu lagi sejak lulus SMP.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, M memang berhak memilih teman lain (selain aku). Sah-sah saja dia menceritakan rahasianya kepada teman lain. Lagi pula, apa hakku mengharuskannya menceritakan kepadaku semua hal tentang dirinya? Tidak kan?
Sementara teman-teman lain masih mengira kami bersahabat, aku mulai mendefinisikan ulang arti persahabatan dan apa artinya persahabatanku dengan M. Sejak saat itu aku tidak dengan mudahnya menganggap orang yang saat ini dekat denganku sebagai sahabat. Bagiku, sahabat itu tak bisa kupilih. Seorang sahabat itu terdefinisi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Waktulah yang akan menjawab siapa sebenarnya sahabatku. Waktu akan menguji siapa teman yang tulus, siapa yang bersedia dijadikan tempat berbagi cerita, siapa yang tetap mau meluangkan waktu dan tenaga untuk memupuk relasi, siapa yang masih mau menyapa walaupun jarak terbentang. Dan aku akan senang sekali saat menemukan orang yang bisa menjadi sahabat :)
Sore itu HP-ku berbunyi. Nomor tak dikenal. Siapa ya?
"Halo...," terdengar suara seorang laki-laki dari seberang sana. Aku merasa kenal dengan suara itu, apalagi kemudian dia menyebutkan nama kecilku. Ya ... ya ... itu pasti teman lama. Tapi siapa ya?
Oh, ternyata dia T, teman SMP-ku dulu. Tak lama kami pun bernostalgia sejenak. Berkat Facebook, aku akhirnya terhubung dengan teman-teman lama. Menyenangkan. Dua pertanyaan yang sering saling diajukan saat aku bernostalgia dengan teman-teman lama adalah: (1) Masih sering pulang ke Madiun? (2) Sekarang paling sering kontak dengan siapa saja?
Untuk pertanyaan pertama, jawabanku biasanya: Masih. Walaupun sudah di Jakarta, aku tetap suka pulang. Hehe. Untuk pertanyaan kedua, aku biasanya menyebutkan dua orang teman SMP-ku yang sampai sekarang masih berkontak: J dan P. Setelah aku menyebutkan dua nama itu, T lalu bertanya, kamu nggak pernah ketemu lagi sama M?
"Ow, tidak," jawabku.
"Kan dia dulu soulmate-mu," katanya. Hahaha. Aku tertawa mendengar istilah yang dia pakai. Soulmate? Kami memang sering sebangku dulu. Tapi soulmate? Ah, rasanya enggak segitunya deh. Pertanyaan T soal M itu mau tak mau membuatku terlempar ke masa lalu. Perlahan-lahan kenanganku dengan M kembali muncul.
Aku mengenal M ketika pertama kali masuk SMP. Sebenarnya orang tuaku kadang menceritakan soal M. Maklum, M adalah putri teman orangtuaku. Dan ketika kami masuk SMP yang sama, entah bagaimana kami langsung dekat. Kadang aku main ke rumahnya. Tapi dia jarang sekali main ke rumahku. Seingatku dia malah baru sekali ke rumahku. Memang rumah kami agak jauh. Dan waktu itu sepertinya dia ke mana-mana naik becak atau diantar orangtuanya, sedangkan aku lebih suka keluyuran naik sepeda. Jadi, biar jauh, aku datangi juga rumahnya. Kalau kupikir-pikir orang tuanya overprotected terhadap anak perempuannya itu. Entah kenapa. Bisa jadi karena lokasi rumahnya yang cukup jauh itu. Dan jalan ke rumahnya cukup ramai. Seingatku, waktu itu jalan menuju rumahnya dilewati bus antar kota. Tapi aku yang memang hobi bersepeda, menganggap jalanan yang ramai itu tak masalah. Lagi pula Madiun kan kota kecil, jalanan yang ramai itu tidak ramai-ramai banget (jika dibandingkan dengan jalan raya di kota besar seperti Jogja atau bahkan Jakarta). Aku yakin bisa berhati-hati kok.
Banyak orang menganggap kami bersahabat. Tapi kalau ditanyakan kepadaku, aku tak tahu apa jawabnya. Mungkin iya, mungkin tidak. Di satu sisi, aku sebenarnya suka berbagi cerita dengannya. Tapi kok sepertinya dia enggan banyak cerita denganku ya? Satu hal yang aku ingat betul dan hal itu seperti "menamparku" adalah ketika entah bagaimana aku tahu ada seorang anak laki-laki yang suka padanya. Waktu itu, dia tak menceritakan hal itu kepadaku. Dia lebih suka menceritakan hal itu kepada teman kami yang duduknya di belakangku. Aku mendengar gosip tentang hal itu dari teman lain. Waktu kutanya, dia diam saja. Aku merasa sedih karena dia sama sekali tidak bercerita kepadaku soal itu.
Sedih?
Iya, aku sedih. Karena aku biasa menceritakan apa saja kepadanya, tetapi dia tidak melakukan hal yang sebaliknya kepadaku. Saat itu aku memang masih berpikir bahwa yang namanya bersahabat adalah jika kami sama-sama berbagi apa pun itu. Ya, kenyataan itu seperti "menamparku" karena aku merasa hubungan kami tidak seimbang. Sepertinya aku lebih banyak menceritakan rahasiaku kepadanya, tetapi dia tidak mencuilkan rahasianya sedikit pun kepadaku. Rasanya kok gimanaaa gitu. Dan sejak itu aku jadi agak jauh dengan M. Kami hampir tak pernah bertemu lagi sejak lulus SMP.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir, M memang berhak memilih teman lain (selain aku). Sah-sah saja dia menceritakan rahasianya kepada teman lain. Lagi pula, apa hakku mengharuskannya menceritakan kepadaku semua hal tentang dirinya? Tidak kan?
Sementara teman-teman lain masih mengira kami bersahabat, aku mulai mendefinisikan ulang arti persahabatan dan apa artinya persahabatanku dengan M. Sejak saat itu aku tidak dengan mudahnya menganggap orang yang saat ini dekat denganku sebagai sahabat. Bagiku, sahabat itu tak bisa kupilih. Seorang sahabat itu terdefinisi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Waktulah yang akan menjawab siapa sebenarnya sahabatku. Waktu akan menguji siapa teman yang tulus, siapa yang bersedia dijadikan tempat berbagi cerita, siapa yang tetap mau meluangkan waktu dan tenaga untuk memupuk relasi, siapa yang masih mau menyapa walaupun jarak terbentang. Dan aku akan senang sekali saat menemukan orang yang bisa menjadi sahabat :)
Friday, September 25, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:3:28 AM
|
Category :
asrama syantikara,
keluarga,
rumah tangga
|
12
comments
Bagaimana Menumbuhkan Kesadaran untuk Beres-beres Rumah?
Masih ingat ceritaku waktu lebaran kemarin? Nah salah satu bahan perbincanganku bersama tante-tanteku adalah soal ribetnya bersih-bersih dan pembagian kerja di rumah. Maklum, selama libur lebaran ini, para tanteku itu harus merelakan para pembentes mereka alias para asisten rumah tangga mereka untuk libur. Jadilah mereka yang biasanya jarang menengok dapur dan beres-beres rumah, mau tak mau akhirnya beberes rumah. Plus masak tentunya.
Saat itu, ada empat orang perempuan berkumpul--termasuk aku. Saat mereka saling bercerita bagaimana capeknya beres-beres rumah, aku cuma diam saja. Lha emang mau bagaimana? Aku lupa sudah berapa lama aku tak punya asisten rumah tangga. Jadi urusan rumah itu ibarat makanan sehari-hari. Dan karena tahu betapa capeknya kalau menginginkan rumah yang rapi dan kinclong, aku tak pernah memaksa diri untuk beres-beres. *Hey, memang kerjaanku cuma beres-beres rumah doang? Enggak kan?* Lagi pula dengan bekerja di rumah begini, urusan pekerjaan dan beres-beres rumah semuanya bercampur menjadi satu. Sekarang prioritasnya apa dulu? Kalau mementingkan pekerjaan yang masih nangkring di komputer, ya nyapunya nanti saja. Setidaknya sudah cuci piring. Jadi, kalau mau makan tak perlu grubak-grubuk mencari piring bersih. Duh ketahuan malasnya ya? Hihihi.
Tapi kurasa pekerjaan rumah itu tak ada habisnya. Coba pikir, kita makan tiga kali sehari. Dan tiap kali makan, berarti itu ada piring, sendok, dan gelas yang kotor. Belum lagi kalau kita masak sendiri, pasti ketambahan penggorengan dan panci yang kotor. Lalu, jika kita ganti baju setiap hari, berarti cucian kotor itu akan selalu ada! Setelah kita mencuci baju, tentu baju-baju itu akan mengantre untuk disetrika. Belum lagi lantai berdebu yang menuntut untuk disapu dan dipel. Masih kurang? Tak perlu kujelaskan bahwa rak buku dan meja itu harus dirapikan bukan? Belum lagi kamar mandi juga perlu dibersihkan. Duh, kalau mengingat itu semua, aku tak akan bisa ngeblog ... eh menyelesaikan editan dan terjemahan dong! Padahal kalau sudah tenggelam dalam naskah, rasanya malas banget untuk beranjak dari depan komputer. Jadi, kalau suamiku libur, aku biasanya akan meminta dia membantu mencuci piring atau paling tidak menyapu. Bantuan untuk dua hal itu saja sudah sangat membantu loh! *Jadi, hai kalian para suami dan laki-laki, bantuan kalian untuk mengerjakan pekerjan rumah tangga itu sangat berharga bagi kami kaum perempuan ini!*
Oke, kembali ke obrolan para tanteku tadi. Akhir-akhir ini yang jadi keprihatian mereka adalah bagaimana caranya supaya anak-anak mereka sadar akan pekerjaan rumah? Dengan kata lain, bagaimana caranya membuat mereka dengan sukarela mau membantu sang ibu? Aku kan belum lama keluar dari masa remaja seperti sepupu-sepupuku itu, jadi sepertinya pertanyaan itu pantas diajukan ke aku. Di masa remaja itu, anak-anak eh aku ding sering merasa malas untuk beres-beres rumah. Akibatnya, kalau di rumah lebih suka goler-goler dan nguap-nguap seperti singa di Taman Safari yang tak punya kerjaan itu. Setelah seminggu sekolah, boleh dong kalau di hari Minggu kita bersantai sejenak? Tapi para ibu memang sepertinya lebih suka mengajak kita berolahraga untuk membuat rumah tampak kinclong. Duh, plis deh Mam!
Dulu, keluargaku juga punya semacam asisten rumah tangga. Aku sebut "semacam" karena tidak betul-betul asisten. Mereka masih saudara, dan tidak semua pekerjaan dilakukan oleh mereka. Tapi banyak juga sih yang mereka kerjakan. Ah, ribet menjelaskannya. Pokoknya begitu aja deh. Dan aku yang masih nakal ini kadang malas banget kalau disuruh bantu-bantu. Maunya cuma setrika saja. Atau mengepel dan mencuci baju sendiri. Kerjaan yang lain? Ah, nanti juga ada yang membereskan. Huuu ... kurang ajar sekali kan aku?
Tetapi akhirnya sampailah aku pada suatu masa di mana aku mendapat tanggung jawab untuk beres-beres. Kapan itu? Tepatnya sih saat aku di asrama--saat aku kuliah. Saat tinggal di Asrama Syantikara, kami masing-masing punya tugas untuk bersih-bersih. Yang wajib sih setiap hari secara bergiliran kami menyapu dan mengepel unit. Yang dimaksud dengan unit adalah semacam rumah kecil yang kami tempati berdelapan. Ya, betul ... satu unit itu ditempati oleh 8 orang. (Bisa kebayang kalau kami berantem?) Eh, tapi ada juga yang ditempati 4 orang. Tapi rata-rata 8 orang. Selain bergiliran menyapu dan mengepel unit, dalam seminggu kami juga bergiliran untuk membersihkan wastafel (yang entah bagaimana dalam seminggu selalu ditumbuhi lumut tipis); membersihkan kamar mandi atas dan kamar mandi bawah (maksudnya, menguras bak dan menyikat lantai kamar mandi); membersihkan kaca; membereskan lemari tempat kami menyimpan susu, teh, mi instan, dan berbagai bahan logistik lainnya; membereskan rak sepatu, membersihkan kompor ... hmmm ... apalagi ya? Tapi kurang lebih begitu deh. Dan untuk urusan kami masing-masing, ya kami harus mencuci dan setrika baju sendiri. Biasanya anak-anak yang punya uang saku lebih, mereka menggunakan jasa laundri yang banyak tersebar di daerah kampus.
Setelah keluar dari asrama tidak berarti aku bisa leyeh-leyeh. Setelah dari situ ... aku tinggal bersama kakakku dan selain beres-beres rumah, kami harus mulai belajar memasak. Duh, anak-anak mami ini mau tak mau harus turun ke dapur, hahaha! Yang dulunya cuma tahu masak air, sekarang paling enggak belajar masak sayur bening deh! Ya, akhirnya mau tak mau kami belajar untuk mengenal pekerjaan rumah. Mau tak mau? Lah iya. Entah mengapa aku dan kakakku kok merasa agak bagaimanaaa gitu kalau harus mempekerjakan asisten rumah. Aku sendiri sampai sekarang merasa lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri. Paling-paling dibantu suamiku. Tapi yah, lagi-lagi aku tidak memaksa diri untuk mengerjakan semuanya. Lagi pula, kalau disuruh memilih, aku lebih memilih untuk mengerjakan terjemahan atau keluyuran bersama suamiku. Hehehe, hidup nggak harus melulu untuk beres-beres rumah kan?
Jadi, kalau ada orang tua yang bertanya bagaimana caranya membuat anak-anak mereka lebih sadar pekerjaan rumah tangga? Jawabannya: masukkan mereka ke Asrama Syantikara hihihi! Tapi intinya sih, jangan dimanja deh dan beri tanggung jawab. Nanti lama-lama juga sadar kok. Atau ada yang punya tips lain?
Masih ingat ceritaku waktu lebaran kemarin? Nah salah satu bahan perbincanganku bersama tante-tanteku adalah soal ribetnya bersih-bersih dan pembagian kerja di rumah. Maklum, selama libur lebaran ini, para tanteku itu harus merelakan para pembentes mereka alias para asisten rumah tangga mereka untuk libur. Jadilah mereka yang biasanya jarang menengok dapur dan beres-beres rumah, mau tak mau akhirnya beberes rumah. Plus masak tentunya.
Saat itu, ada empat orang perempuan berkumpul--termasuk aku. Saat mereka saling bercerita bagaimana capeknya beres-beres rumah, aku cuma diam saja. Lha emang mau bagaimana? Aku lupa sudah berapa lama aku tak punya asisten rumah tangga. Jadi urusan rumah itu ibarat makanan sehari-hari. Dan karena tahu betapa capeknya kalau menginginkan rumah yang rapi dan kinclong, aku tak pernah memaksa diri untuk beres-beres. *Hey, memang kerjaanku cuma beres-beres rumah doang? Enggak kan?* Lagi pula dengan bekerja di rumah begini, urusan pekerjaan dan beres-beres rumah semuanya bercampur menjadi satu. Sekarang prioritasnya apa dulu? Kalau mementingkan pekerjaan yang masih nangkring di komputer, ya nyapunya nanti saja. Setidaknya sudah cuci piring. Jadi, kalau mau makan tak perlu grubak-grubuk mencari piring bersih. Duh ketahuan malasnya ya? Hihihi.
Tapi kurasa pekerjaan rumah itu tak ada habisnya. Coba pikir, kita makan tiga kali sehari. Dan tiap kali makan, berarti itu ada piring, sendok, dan gelas yang kotor. Belum lagi kalau kita masak sendiri, pasti ketambahan penggorengan dan panci yang kotor. Lalu, jika kita ganti baju setiap hari, berarti cucian kotor itu akan selalu ada! Setelah kita mencuci baju, tentu baju-baju itu akan mengantre untuk disetrika. Belum lagi lantai berdebu yang menuntut untuk disapu dan dipel. Masih kurang? Tak perlu kujelaskan bahwa rak buku dan meja itu harus dirapikan bukan? Belum lagi kamar mandi juga perlu dibersihkan. Duh, kalau mengingat itu semua, aku tak akan bisa ngeblog ... eh menyelesaikan editan dan terjemahan dong! Padahal kalau sudah tenggelam dalam naskah, rasanya malas banget untuk beranjak dari depan komputer. Jadi, kalau suamiku libur, aku biasanya akan meminta dia membantu mencuci piring atau paling tidak menyapu. Bantuan untuk dua hal itu saja sudah sangat membantu loh! *Jadi, hai kalian para suami dan laki-laki, bantuan kalian untuk mengerjakan pekerjan rumah tangga itu sangat berharga bagi kami kaum perempuan ini!*
Oke, kembali ke obrolan para tanteku tadi. Akhir-akhir ini yang jadi keprihatian mereka adalah bagaimana caranya supaya anak-anak mereka sadar akan pekerjaan rumah? Dengan kata lain, bagaimana caranya membuat mereka dengan sukarela mau membantu sang ibu? Aku kan belum lama keluar dari masa remaja seperti sepupu-sepupuku itu, jadi sepertinya pertanyaan itu pantas diajukan ke aku. Di masa remaja itu, anak-anak eh aku ding sering merasa malas untuk beres-beres rumah. Akibatnya, kalau di rumah lebih suka goler-goler dan nguap-nguap seperti singa di Taman Safari yang tak punya kerjaan itu. Setelah seminggu sekolah, boleh dong kalau di hari Minggu kita bersantai sejenak? Tapi para ibu memang sepertinya lebih suka mengajak kita berolahraga untuk membuat rumah tampak kinclong. Duh, plis deh Mam!
Dulu, keluargaku juga punya semacam asisten rumah tangga. Aku sebut "semacam" karena tidak betul-betul asisten. Mereka masih saudara, dan tidak semua pekerjaan dilakukan oleh mereka. Tapi banyak juga sih yang mereka kerjakan. Ah, ribet menjelaskannya. Pokoknya begitu aja deh. Dan aku yang masih nakal ini kadang malas banget kalau disuruh bantu-bantu. Maunya cuma setrika saja. Atau mengepel dan mencuci baju sendiri. Kerjaan yang lain? Ah, nanti juga ada yang membereskan. Huuu ... kurang ajar sekali kan aku?
Tetapi akhirnya sampailah aku pada suatu masa di mana aku mendapat tanggung jawab untuk beres-beres. Kapan itu? Tepatnya sih saat aku di asrama--saat aku kuliah. Saat tinggal di Asrama Syantikara, kami masing-masing punya tugas untuk bersih-bersih. Yang wajib sih setiap hari secara bergiliran kami menyapu dan mengepel unit. Yang dimaksud dengan unit adalah semacam rumah kecil yang kami tempati berdelapan. Ya, betul ... satu unit itu ditempati oleh 8 orang. (Bisa kebayang kalau kami berantem?) Eh, tapi ada juga yang ditempati 4 orang. Tapi rata-rata 8 orang. Selain bergiliran menyapu dan mengepel unit, dalam seminggu kami juga bergiliran untuk membersihkan wastafel (yang entah bagaimana dalam seminggu selalu ditumbuhi lumut tipis); membersihkan kamar mandi atas dan kamar mandi bawah (maksudnya, menguras bak dan menyikat lantai kamar mandi); membersihkan kaca; membereskan lemari tempat kami menyimpan susu, teh, mi instan, dan berbagai bahan logistik lainnya; membereskan rak sepatu, membersihkan kompor ... hmmm ... apalagi ya? Tapi kurang lebih begitu deh. Dan untuk urusan kami masing-masing, ya kami harus mencuci dan setrika baju sendiri. Biasanya anak-anak yang punya uang saku lebih, mereka menggunakan jasa laundri yang banyak tersebar di daerah kampus.
Setelah keluar dari asrama tidak berarti aku bisa leyeh-leyeh. Setelah dari situ ... aku tinggal bersama kakakku dan selain beres-beres rumah, kami harus mulai belajar memasak. Duh, anak-anak mami ini mau tak mau harus turun ke dapur, hahaha! Yang dulunya cuma tahu masak air, sekarang paling enggak belajar masak sayur bening deh! Ya, akhirnya mau tak mau kami belajar untuk mengenal pekerjaan rumah. Mau tak mau? Lah iya. Entah mengapa aku dan kakakku kok merasa agak bagaimanaaa gitu kalau harus mempekerjakan asisten rumah. Aku sendiri sampai sekarang merasa lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri. Paling-paling dibantu suamiku. Tapi yah, lagi-lagi aku tidak memaksa diri untuk mengerjakan semuanya. Lagi pula, kalau disuruh memilih, aku lebih memilih untuk mengerjakan terjemahan atau keluyuran bersama suamiku. Hehehe, hidup nggak harus melulu untuk beres-beres rumah kan?
Jadi, kalau ada orang tua yang bertanya bagaimana caranya membuat anak-anak mereka lebih sadar pekerjaan rumah tangga? Jawabannya: masukkan mereka ke Asrama Syantikara hihihi! Tapi intinya sih, jangan dimanja deh dan beri tanggung jawab. Nanti lama-lama juga sadar kok. Atau ada yang punya tips lain?
Monday, September 21, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:11:31 PM
|
Category :
keluarga,
lebaran,
obrolan,
televisi
|
8
comments
Televisi VS Mengobrol
Kata suamiku, dulu waktu lebaran, film-film yang diputar di televisi adalah film Warkop. Lho kok pakai istilah "kata suamiku"? Memangnya nggak pernah lihat televisi? Memang sejak kecil, aku hampir tak pernah menonton acara televisi sewaktu lebaran. Aneh ya? Sebenarnya enggak juga. Sejak kecil, aku dan keluargaku selalu pergi ke rumah Kakek di desa beberapa hari menjelang hari Idul Fitri. Seingatku, aku tak pernah absen pergi ke sana. Kadang bosan juga sih tiap lebaran kok mesti pergi ke luar kota. Dan bepergian dengan kendaraan umum menjelang lebaran itu tidak terlalu menyenangkan buatku. Terminal yang penuh dan harus berdesak-desakan di dalam bus bukan suatu pilihan yang kusukai. Tapi mau bagaimana lagi? Itu suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Namanya juga masih bocah, dulu aku selalu sebal karena tahu aku tidak bisa menyaksikan acara televisi yang bagus-bagus semasa lebaran. Maklum, rumah kakekku itu ndeso banget. Tak ada televisi. Bahkan aku masih ingat, dulu tak ada listrik di sana. Baru ketika aku sudah agak besar, ada listrik masuk desa. Senangnya! Ketika sudah ada listrik, di rumah kakekku tidak serta merta ada televisi seperti rumah-rumah tetangganya. Rumah kakekku baru ada televisi setelah orangtuaku di Madiun membeli televisi berwarna dan televisi hitam putih yang selama ini kami pakai dihibahkan kepada Kakek. Seingatku, orangtuaku membeli televisi berwarna ketika aku sudah SMA.
Nah, ketika lebaran di tempat Kakek, dulu aku berharap bisa menonton acara televisi. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi ya ... harus diakui dulu aku masih kecanduan televisi. Hihi. Jadi, kalau ada acara yang bagus sedikit saja, pasti segera nongkrong di depan televisi. Tapi itu dulu lo! Soalnya sekarang sudah tidak lagi. Wong di Jakarta ini aku nggak punya televisi kok. Mau nyandu bagaimana?
Nah, kemarin saat lebaran hari pertama, aku dan suamiku berkumpul di rumah Om Agus, seorang adik ibuku yang tinggal di Bekesong ... eh, Bekasi maksudku. Di sana suasana cukup ramai. Maklum, empat keluarga berkumpul, plus para keponakan juga rame-rame ke sana semua. Nah, di rumah omku itu, televisi sepertinya tak pernah istirahat. Seingatku sih begitu, ya. Setidaknya kemarin televisi kabel yang menayangkan film-film dari luar negeri itu terus menerus membius para keponakan yang sepertinya sakau kalau tidak menonton tipi. Apalagi di depan televisi disediakan berbagai macam kue plus minuman bersoda yang tentunya tak bisa dilewatkan begitu saja, maka kami semua rame-rame menatap kotak ajaib itu.
Tapi sebenarnya aku agak bosan juga. Mungkin karena filmnya kurang menarik bagiku, dan ketika aku datang filmnya sudah berjalan separuhnya. Jadi, makin malas saja aku menontonnya. Tapi, mau ngapain lagi ya? Akhirnya kue-kue yang disajikan itu kucoba satu persatu. Setelah bosan, aku mulai melirik anggur dan jeruk. Hihihi. Akhirnya, salah seorang tanteku berseru, "Hey ... mbok ngobrol to! Mosok udah jauh-jauh datang ke sini cuma nonton tivi saja?" Wah, rupanya ada yang bosan juga kaya aku :D Tapi toh, yang menanggapi omongan tanteku itu cuma empat orang termasuk aku. Kami akhirnya memisahkan diri dan mengobrol sendiri. Yang lainnya sih masih asyik memelototi televisi.
Hal seperti itu tentu tidak terjadi saat kami berlebaran di desa kakekku. Dulu saat kami berkumpul, tak ada televisi yang menyala. Dan kami pun menobrol dan bercanda dengan gayeng. Acara televisi ibarat jadi salah satu "makanan" yang disajikan oleh tuan rumah. Biasanya para penikmat acara televisi ini jadi terbius dan tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Kupikir-pikir televisi kadang memang tidak membuat kita jadi semakin dekat satu sama lain, karena justru dengan menonton televisi kebanyakan orang akhirnya malas mengobrol dengan orang di sekitarnya.
Kata suamiku, dulu waktu lebaran, film-film yang diputar di televisi adalah film Warkop. Lho kok pakai istilah "kata suamiku"? Memangnya nggak pernah lihat televisi? Memang sejak kecil, aku hampir tak pernah menonton acara televisi sewaktu lebaran. Aneh ya? Sebenarnya enggak juga. Sejak kecil, aku dan keluargaku selalu pergi ke rumah Kakek di desa beberapa hari menjelang hari Idul Fitri. Seingatku, aku tak pernah absen pergi ke sana. Kadang bosan juga sih tiap lebaran kok mesti pergi ke luar kota. Dan bepergian dengan kendaraan umum menjelang lebaran itu tidak terlalu menyenangkan buatku. Terminal yang penuh dan harus berdesak-desakan di dalam bus bukan suatu pilihan yang kusukai. Tapi mau bagaimana lagi? Itu suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Namanya juga masih bocah, dulu aku selalu sebal karena tahu aku tidak bisa menyaksikan acara televisi yang bagus-bagus semasa lebaran. Maklum, rumah kakekku itu ndeso banget. Tak ada televisi. Bahkan aku masih ingat, dulu tak ada listrik di sana. Baru ketika aku sudah agak besar, ada listrik masuk desa. Senangnya! Ketika sudah ada listrik, di rumah kakekku tidak serta merta ada televisi seperti rumah-rumah tetangganya. Rumah kakekku baru ada televisi setelah orangtuaku di Madiun membeli televisi berwarna dan televisi hitam putih yang selama ini kami pakai dihibahkan kepada Kakek. Seingatku, orangtuaku membeli televisi berwarna ketika aku sudah SMA.
Nah, ketika lebaran di tempat Kakek, dulu aku berharap bisa menonton acara televisi. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi ya ... harus diakui dulu aku masih kecanduan televisi. Hihi. Jadi, kalau ada acara yang bagus sedikit saja, pasti segera nongkrong di depan televisi. Tapi itu dulu lo! Soalnya sekarang sudah tidak lagi. Wong di Jakarta ini aku nggak punya televisi kok. Mau nyandu bagaimana?
Nah, kemarin saat lebaran hari pertama, aku dan suamiku berkumpul di rumah Om Agus, seorang adik ibuku yang tinggal di Bekesong ... eh, Bekasi maksudku. Di sana suasana cukup ramai. Maklum, empat keluarga berkumpul, plus para keponakan juga rame-rame ke sana semua. Nah, di rumah omku itu, televisi sepertinya tak pernah istirahat. Seingatku sih begitu, ya. Setidaknya kemarin televisi kabel yang menayangkan film-film dari luar negeri itu terus menerus membius para keponakan yang sepertinya sakau kalau tidak menonton tipi. Apalagi di depan televisi disediakan berbagai macam kue plus minuman bersoda yang tentunya tak bisa dilewatkan begitu saja, maka kami semua rame-rame menatap kotak ajaib itu.
Tapi sebenarnya aku agak bosan juga. Mungkin karena filmnya kurang menarik bagiku, dan ketika aku datang filmnya sudah berjalan separuhnya. Jadi, makin malas saja aku menontonnya. Tapi, mau ngapain lagi ya? Akhirnya kue-kue yang disajikan itu kucoba satu persatu. Setelah bosan, aku mulai melirik anggur dan jeruk. Hihihi. Akhirnya, salah seorang tanteku berseru, "Hey ... mbok ngobrol to! Mosok udah jauh-jauh datang ke sini cuma nonton tivi saja?" Wah, rupanya ada yang bosan juga kaya aku :D Tapi toh, yang menanggapi omongan tanteku itu cuma empat orang termasuk aku. Kami akhirnya memisahkan diri dan mengobrol sendiri. Yang lainnya sih masih asyik memelototi televisi.
Hal seperti itu tentu tidak terjadi saat kami berlebaran di desa kakekku. Dulu saat kami berkumpul, tak ada televisi yang menyala. Dan kami pun menobrol dan bercanda dengan gayeng. Acara televisi ibarat jadi salah satu "makanan" yang disajikan oleh tuan rumah. Biasanya para penikmat acara televisi ini jadi terbius dan tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Kupikir-pikir televisi kadang memang tidak membuat kita jadi semakin dekat satu sama lain, karena justru dengan menonton televisi kebanyakan orang akhirnya malas mengobrol dengan orang di sekitarnya.
Saturday, September 19, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:4:08 PM
|
Category :
Jakarta,
lebaran,
pasar,
teman
|
7
comments
Sepotong "Jakarta Kecil" Menjelang Lebaran
Sabtu pagi, seperti biasa hampir selalu ada SMS dari temanku, Joanna, "Mau ke pasar nggak?" Dia temanku semasa SMP dulu yang sudah lama merantau di Jakarta ini. Rumah kami hanya berjarak dua gang. Memang hampir setiap pagi kami ke pasar bersama. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Wong cuma ke pasar tradisional loh, kok ya selalu berdua. Hihi. Sejarahnya dimulai ketika aku pertama kali tinggal di Jakarta dan masih asing dengan lingkungan sekitar tempat tinggalku, dialah yang mengenalkanku pada pasar tradisional di dekat rumah. Sebenarnya ada pedagang sayuran yang tiap pagi lewat depan rumah, tetapi kata dia, "Mahal itu. Mendingan ke pasar." Dan pasarnya memang tak seberapa jauh dari rumah. Hanya keluar kompleks sedikit.
Pertama kali ke pasar tradisional sendiri, aku berencana membeli ayam dan sayuran untuk masak sup. Pertama kali kudatangi penjual ayam. "Beli seperempat kilo saja ya, Bu," kataku. "Nggak bisa Mbak, belinya mesti satu ekor atau setengahnya." Waduh! Setengah ekor itu banyak banget bagiku. Dan pasti tidak habis nanti. Lagi pula saat itu aku belum punya lemari es. Akhirnya aku urung membeli ayam. Menu hari itu tak jadi sup ayam.
Kebingunganku berbelanja di pasar itu kuceritakan kepada Joanna. Akhirnya, ketika akhir minggu tiba, kami ke pasar bersama. Dia membantuku "beradaptasi" dengan kebiasaan pedagang-pedagang di sini. Dialah yang memperkenalkanku pada beberapa pedagang yang sudah menjadi langganannya. Kalau beli ayam di ibu-ibu yang kiosnya di tengah pasar, "Ayamnya lebih bagus daripada pedagang lainnya," katanya. Dan memang penjual ayam potong itu selalu dikerumuni lebih banyak orang daripada yang lainnya. Kalau mau beli sayur agak murah, datanglah lebih pagi ke pasar karena di pinggir jalan ada seorang ibu-ibu setengah baya yang menjual sayur secara "grosiran". Harganya lebih miring dibandingkan jika kita membeli di dalam pasar.
Dan Sabtu kemarin kami ke pasar lagi. Awalnya aku pikir aku belanja setelah lebaran saja. Tapi kata Joanna, sekitar tiga hari setelah lebaran harga barang-barang di pasar biasanya justru lebih mahal. Masih banyak pedagang yang libur, sehingga oleh pedagang yang ada harga barang justru dinaikkan setinggi langit. Okelah kalau begitu. Aku percaya kata-katanya karena toh dia sudah lama tinggal di sini. Akhirnya aku ke pasar bersamanya untuk membeli sedikit tambahan persediaan sayur.
Ternyata Sodara-sodara, pasarnya puenuuuuuh! Kalau istilah ibuku: "ora iso dipiyak" yang artinya tidak bisa disibakkan. Orang-orang berjubel di lorong pasar sehingga hampir tak ada jalan. Di beberapa titik kami harus berjalan sangat pelan dan berdesak-desakan. Jangan tanya berapa kali aku harus membiarkan kakiku terkena sandal orang lain yang kotor dan didorong-dorong dengan cukup kuat dari belakang saat mencari jalan. Dan ada banyak pedagang musiman--kebanyakan sih pedagang ayam, kelapa, dan baju. Aku cepat-cepat memutuskan sayur apa saja yang hendak kubeli.
Sejenak aku berpisah dengan Joanna karena dia akan mengantri membeli ayam di pedangang langganannya. Ya, dia harus antri cukup lama karena pembeli ayam berjubel banyak sekali! Aku akhirnya menunggunya di tempat yang agak lapang sambil meneruskan belanja sawi. Dan dia lamaaaa sekali. Duh, sudah tak sabar aku. Rasanya aku pengin pulang duluan saja. Dan menyaksikan pasar yang hiruk pikuk tak karuan itu membuatku pusing. Tempat parkir yang biasanya hanya memakan satu lajur, sekarang jadi dua lajur. Itu masih ditambah dengan adanya kios-kios pedagang musiman. Uh, hampir tak ada tempat untuk berdiri. Dan memang rasanya aku seperti orang dodol berdiri begitu saja di keramaian dan orang yang wira-wiri.
Sekilas kudengar percakapan seorang pengendara mobil dengan petugas parkir, "Bang kok penuh begini? Mau parkir di mana, nih? Tau gini saya kan nggak masuk ke sini," kata si supir.
"Memang di depan nggak dikasih tahu kalau penuh, Pak?" tanya petugas parkir.
"Enggak." Nadanya sedikit ketus. "Lain kali dikasih tahu dong, Bang! Jalanan udah sempit begini tetep saja mobil dikasih masuk."
Hmmm ... "Jakarta kecil", pikirku. Lahan yang ada cuma segitu-gitu saja, tetapi orang-orang yang datang semakin banyak karena di situlah roda ekonomi berputar. Tempat memang sudah semakin sempit, jadi, ya mesti mau empet-empetan. Di saat-saat yang hiruk pikuk seperti itu, orang akhirnya hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak heran orang mencari kesempatan di antara kesempitan. Intinya sih, kalau bisa mengambil untung banyak-banyak, kenapa tidak? Kalau bisa memanfaatkan orang lain, kenapa tidak? Saat itulah orang mencari selamat bagi dirinya sendiri.
Lebaran sudah mengintip. Semua orang berbelanja. Semua ingin merayakan lebaran dengan berpesta. Tapi aku tak ingin berlama-lama di pasar. Untung kulihat Joanna sudah mendapatkan ayam potong. Lega rasanya.
Kepada teman-teman yang merayakan Idul Fitri, saya mengucapkan selamat merayakan kemenangan, ya! :)
Sabtu pagi, seperti biasa hampir selalu ada SMS dari temanku, Joanna, "Mau ke pasar nggak?" Dia temanku semasa SMP dulu yang sudah lama merantau di Jakarta ini. Rumah kami hanya berjarak dua gang. Memang hampir setiap pagi kami ke pasar bersama. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Wong cuma ke pasar tradisional loh, kok ya selalu berdua. Hihi. Sejarahnya dimulai ketika aku pertama kali tinggal di Jakarta dan masih asing dengan lingkungan sekitar tempat tinggalku, dialah yang mengenalkanku pada pasar tradisional di dekat rumah. Sebenarnya ada pedagang sayuran yang tiap pagi lewat depan rumah, tetapi kata dia, "Mahal itu. Mendingan ke pasar." Dan pasarnya memang tak seberapa jauh dari rumah. Hanya keluar kompleks sedikit.
Pertama kali ke pasar tradisional sendiri, aku berencana membeli ayam dan sayuran untuk masak sup. Pertama kali kudatangi penjual ayam. "Beli seperempat kilo saja ya, Bu," kataku. "Nggak bisa Mbak, belinya mesti satu ekor atau setengahnya." Waduh! Setengah ekor itu banyak banget bagiku. Dan pasti tidak habis nanti. Lagi pula saat itu aku belum punya lemari es. Akhirnya aku urung membeli ayam. Menu hari itu tak jadi sup ayam.
Kebingunganku berbelanja di pasar itu kuceritakan kepada Joanna. Akhirnya, ketika akhir minggu tiba, kami ke pasar bersama. Dia membantuku "beradaptasi" dengan kebiasaan pedagang-pedagang di sini. Dialah yang memperkenalkanku pada beberapa pedagang yang sudah menjadi langganannya. Kalau beli ayam di ibu-ibu yang kiosnya di tengah pasar, "Ayamnya lebih bagus daripada pedagang lainnya," katanya. Dan memang penjual ayam potong itu selalu dikerumuni lebih banyak orang daripada yang lainnya. Kalau mau beli sayur agak murah, datanglah lebih pagi ke pasar karena di pinggir jalan ada seorang ibu-ibu setengah baya yang menjual sayur secara "grosiran". Harganya lebih miring dibandingkan jika kita membeli di dalam pasar.
Dan Sabtu kemarin kami ke pasar lagi. Awalnya aku pikir aku belanja setelah lebaran saja. Tapi kata Joanna, sekitar tiga hari setelah lebaran harga barang-barang di pasar biasanya justru lebih mahal. Masih banyak pedagang yang libur, sehingga oleh pedagang yang ada harga barang justru dinaikkan setinggi langit. Okelah kalau begitu. Aku percaya kata-katanya karena toh dia sudah lama tinggal di sini. Akhirnya aku ke pasar bersamanya untuk membeli sedikit tambahan persediaan sayur.
Ternyata Sodara-sodara, pasarnya puenuuuuuh! Kalau istilah ibuku: "ora iso dipiyak" yang artinya tidak bisa disibakkan. Orang-orang berjubel di lorong pasar sehingga hampir tak ada jalan. Di beberapa titik kami harus berjalan sangat pelan dan berdesak-desakan. Jangan tanya berapa kali aku harus membiarkan kakiku terkena sandal orang lain yang kotor dan didorong-dorong dengan cukup kuat dari belakang saat mencari jalan. Dan ada banyak pedagang musiman--kebanyakan sih pedagang ayam, kelapa, dan baju. Aku cepat-cepat memutuskan sayur apa saja yang hendak kubeli.
Sejenak aku berpisah dengan Joanna karena dia akan mengantri membeli ayam di pedangang langganannya. Ya, dia harus antri cukup lama karena pembeli ayam berjubel banyak sekali! Aku akhirnya menunggunya di tempat yang agak lapang sambil meneruskan belanja sawi. Dan dia lamaaaa sekali. Duh, sudah tak sabar aku. Rasanya aku pengin pulang duluan saja. Dan menyaksikan pasar yang hiruk pikuk tak karuan itu membuatku pusing. Tempat parkir yang biasanya hanya memakan satu lajur, sekarang jadi dua lajur. Itu masih ditambah dengan adanya kios-kios pedagang musiman. Uh, hampir tak ada tempat untuk berdiri. Dan memang rasanya aku seperti orang dodol berdiri begitu saja di keramaian dan orang yang wira-wiri.
Sekilas kudengar percakapan seorang pengendara mobil dengan petugas parkir, "Bang kok penuh begini? Mau parkir di mana, nih? Tau gini saya kan nggak masuk ke sini," kata si supir.
"Memang di depan nggak dikasih tahu kalau penuh, Pak?" tanya petugas parkir.
"Enggak." Nadanya sedikit ketus. "Lain kali dikasih tahu dong, Bang! Jalanan udah sempit begini tetep saja mobil dikasih masuk."
Hmmm ... "Jakarta kecil", pikirku. Lahan yang ada cuma segitu-gitu saja, tetapi orang-orang yang datang semakin banyak karena di situlah roda ekonomi berputar. Tempat memang sudah semakin sempit, jadi, ya mesti mau empet-empetan. Di saat-saat yang hiruk pikuk seperti itu, orang akhirnya hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak heran orang mencari kesempatan di antara kesempitan. Intinya sih, kalau bisa mengambil untung banyak-banyak, kenapa tidak? Kalau bisa memanfaatkan orang lain, kenapa tidak? Saat itulah orang mencari selamat bagi dirinya sendiri.
Lebaran sudah mengintip. Semua orang berbelanja. Semua ingin merayakan lebaran dengan berpesta. Tapi aku tak ingin berlama-lama di pasar. Untung kulihat Joanna sudah mendapatkan ayam potong. Lega rasanya.
Kepada teman-teman yang merayakan Idul Fitri, saya mengucapkan selamat merayakan kemenangan, ya! :)
Wednesday, September 16, 2009
Author: krismariana widyaningsih
|
at:6:55 PM
|
Category :
membaca,
menulis,
tulis-menulis
|
10
comments
Teknik Menulis
Malam itu mendadak teleponku berdering. Nomornya tak dikenal. Agak ragu juga mau kuangkat. Tetapi siapa tahu ada tawaran pekerjaan? Yah, nanti kalau aneh-aneh, tinggal matikan saja. Beres kan?
Kudengar suara seorang lelaki di seberang sana. Duh, siapa pula ini? Suaranya agak serak. Hampir saja mau kumatikan telepon itu karena aku tak kenal. Owh, tunggu dulu ... rupanya dia seorang pengurus sebuah kegiatan di sebuah gereja. Katanya dia mengenalku dari seorang teman kantorku dulu. Oke ... oke. Lalu? Dia memintaku untuk menjadi narasumber di acara pemuda gereja tersebut.
Aku? Enggak salah nih?
Memangnya acara apa?
Dia bilang, mereka akan mengadakan kegiatan yang membahas teknik(?) penulisan. Yah, kurang lebih begitu informasi yang nyantol di kepalaku.
Hmmm ... rasanya salah memilih orang deh. Aku bukan seorang pembicara yang baik. Apalagi kalau harus berhadapan dengan banyak orang. Ow ... ow ... bisa mati berdiri nanti. Kasihan kan kalau mereka harus kerepotan mengurusi aku yang langsung deg-degan tidak karuan kalau berdiri di depan umum. Ugh, aku tak pernah menikmati menjadi pembicara di muka umum. Suwer dikewer-kewer. Daripada mengecewakan mereka, lebih baik tidak. Kalau bicara di kelompok kecil yang tak lebih dari lima orang, bolehlah. Tapi kalau lebih dari itu? Oh, no! Dan tentunya salah satu alasanku memilih menjadi seorang pengotak-atik kata di belakang layar adalah karena aku tak suka berdiri di depan umum. Please deh, cari orang lain saja.
Memang belakangan ini sekolah penulisan memang cukup marak. Dan sebetulnya kalau mau mencoba jadi pembicara, aku bisa dapat uang saku tambahan. Tapi tidak ah. Aku kurang tertarik dengan sekolah penulisan. Dulu, beberapa tahun lalu, aku kadang mengikuti kegiatan seperti itu. Tentunya sebagai peserta, dong. Nggak mungkin aku yang bukan siapa-siapa ini dijual namanya sebagai pembicara. Hehe. Dan setelah beberapa kali mengikuti acara-acara tersebut, lama-lama bosan juga. Isinya kurang lebih sama. Begitu-begitu saja.
Jadi, sebenarnya kalau ditanya apa sih bagaimana teknik menulis itu? Jawabanku cuma satu: Banyak-banyak membaca. Wis. Itu saja. Itu kalau menurut aku lo, ya. Kurasa seseorang akan memiliki penulis favorit. Dan biasanya tulisan yang kita buat sedikit banyak akan "mencontek" gaya penulis favorit kita.
Tapi masak cuma dengan banyak membaca kita jadi bisa langsung menulis? Kalau dari pengalamanku, memang cuma begitu. Dan banyak mengamati, ding. Kalau mau bikin tulisan berbobot, ya mesti mau bersusah-susah melakukan penelitian. Jangan lupa pintar-pintar cari sponsor yang bisa mendanai penerbitan buku tersebut. Kalau mau menerbitkan buku yang laris manis, bikin saja buku yang isinya kocak, lucu, atau mengaduk-aduk perasaan. Nggak ada isinya ya, tidak apa-apa. Toh banyak orang yang butuh hiburan kok. Tapi kalau bisa sih, ya tambahkan informasi yang bisa memperkaya pembaca. Tulisan bergaya motivasional juga sedang laris. Jangan lupa promosi ke sana-kemari. Silakan saja mau menulis macam apa. Mau menulis dengan hati boleh, mau cari uang juga boleh. Sah-sah saja. Tapi kalau boleh usul, tulislah sesuatu yang bisa menimbulkan pemikiran atau perubahan positif--tentunya dengan bahasa yang enak dibaca ya, biar editor dan pembacanya tidak perlu mengerutkan kening karena tidak mudeng dengan apa yang tertulis.
Menulis itu ibarat naik sepeda. Awalnya memang masih tidak lancar. Tapi coba ... coba ... dan coba lagi. Nanti lama-lama akan merasakan keasyikan sendiri dalam menulis. Kalau sudah dicoba tetapi tidak bisa menikmati, ya barangkali panggilanmu bukan menjadi penulis. Jadi pembaca (dan pembeli buku) saja. Itu juga menyenangkan kok ... setidaknya bagi penulis yang bukunya kalian beli. Lumayan bisa sedikit nambah royalti atau honor. Hehe.
Aku sadar, tulisanku sendiri tidak terlalu berbobot. Biasa saja. Banyak tulisan orang lain yang lebih berbobot, informatif, dan memberikan pencerahan. Jadi, memang harus lebih banyak membaca lagi nih.
*Foto diambil dari sini
Monday, September 14, 2009
Mengenang Lebaran di Kayuwangi ...
Dulu, ketika aku masih belum tinggal di Jakarta, lebaran adalah hari yang cukup sibuk. Meskipun tidak merayakannya, aku dan keluargaku ikut meramaikan Lebaran. Maklum, keluarga besarku banyak yang berlebaran.
Kali ini aku mau bercerita soal lebaran di kampung halaman kakekku. Kami biasanya melewatkan Lebaran hari pertama di kampung halaman ayahku, di desa Kayuwangi di kaki Gunung Gajah, di Ambarawa sana. Sebenarnya aku agak bingung, kampungnya ayahku itu masuk Salatiga atau Ambarawa, ya? Menurutku sih tengah-tengah, hehe. Dan di sana lebaran itu ramai sekali. Keluarga-keluarga yang tidak merayakan Idul Fitri tetap memajang kue-kue dan tak sedikit orang yang datang ke rumah mereka untuk bersilaturahmi. Untuk orang yang sudah tua, rumah mereka pasti tak pernah sepi. Pasti banyak yang datang untuk sungkem. Begitu pula dengan kakekku. Banyak sekali yang datang mengunjungi kakek, bahkan saudara-saudara yang rumahnya entah di mana (saking jauhnya dari kampung Kakek) akan datang dan sungkem pada Kakek.
Kalau sudah begitu, kami-kami yang masih muda ini harus segera tanggap. Kami harus siap menyediakan minum dan makan berat--ketupat, sayur, dan segala macam lauk. Setelah para tamu mengudap makanan kecil seperti peyek kacang hijau, kue-kue kering, kacang, jenang ... kami biasanya mempersilakan tamu-tamu itu untuk makan ketupat. Tapi tidak semua tamu bersedia makan. Soalnya mereka kadang sudah mendatangi beberapa rumah sebelumnya. Jadi, pas sampai di rumah Kakek, mereka sudah cukup kenyang. Hehehe.
Sebenarnya, aku kurang begitu kenal dengan para tamu yang berdatangan itu. Ya, ya ... semua itu masih terbilang saudara dengan ayahku. Tapi karena hampir tak pernah ketemu, ya akhirnya lupa deh. Paling hanya ingat wajah. Dan sebenarnya ini agak menggelikan, karena tidak pernah bertemu ... e, tiba-tiba minta maaf. Hehe. Lha kan mereka tidak punya salah padaku. ...
Setelah sungkem dengan Mbah Kakung dan menjamu tamu yang datang, aku dan sekeluarga (tanpa Kakek), akan keliling kampung untuk bersilaturahmi. Biasanya kami akan mengunjungi para pakde atau paklik ayahku. Dasar aku ini pelupa, aku panggil saja semuanya Simbah hihi. Aku tak begitu tahu silsilahnya. Intinya sih, semua masih saudara. Acara keliling-keliling ini cukup melelahkan buatku karena kampung kakekku jalannya naik turun dan ada jalanan yang masih berbatu. Tapi yang menyenangkan adalah, sesampainya di rumah saudara, kami bisa makan kenyang ;) Dan aku paling suka kalau ada peyek kacang hijau. Kriyuk ... kriyuk. Gurih sekali.
Kami tidak hanya mengunjungi keluarga yang merayakan lebaran saja. Beberapa saudara ayahku ada yang Katolik seperti keluarga kami, Kristen, dan Buddha. Semua kami sambangi. Dan rasanya sih seneng-seneng saja.
Salah satu aspek Lebaran bagiku adalah reuni keluarga dan melimpahnya makanan. Dua hal itu memang menyenangkan. Tapi ada satu hal yang biasanya membuatku sebal. Apa? Yang tidak aku sukai adalah perjalanan mudik. Karena tidak punya kendaraan pribadi, kami harus rela umpel-umpelan alias berdesak-desakan di dalam bus. Tak jarang kami harus berdiri cukup lama sebelum akhirnya mendapat tempat duduk. Pegel bok!
Tapi sepertinya lebaran di kampung Kakek akan tinggal kenangan saja bagi kami sekeluarga. Sejak Kakek jatuh dan patah tulang, sekarang beliau tinggal bersama orangtuaku di Madiun. Jadi kami tak perlu jauh-jauh kalau mau sungkem dengan Mbah Kakung, hehehe.
Tapi ngomong-ngomong kok mendadak aku jadi pengen peyek kacang hijau ya? :D Dan sekarang Lebaran sudah tinggal hitungan hari ini. Enaknya ke mana ya?
*Foto: Mbah Kung yang sedang kangen kampung halamannya
Dulu, ketika aku masih belum tinggal di Jakarta, lebaran adalah hari yang cukup sibuk. Meskipun tidak merayakannya, aku dan keluargaku ikut meramaikan Lebaran. Maklum, keluarga besarku banyak yang berlebaran.
Kali ini aku mau bercerita soal lebaran di kampung halaman kakekku. Kami biasanya melewatkan Lebaran hari pertama di kampung halaman ayahku, di desa Kayuwangi di kaki Gunung Gajah, di Ambarawa sana. Sebenarnya aku agak bingung, kampungnya ayahku itu masuk Salatiga atau Ambarawa, ya? Menurutku sih tengah-tengah, hehe. Dan di sana lebaran itu ramai sekali. Keluarga-keluarga yang tidak merayakan Idul Fitri tetap memajang kue-kue dan tak sedikit orang yang datang ke rumah mereka untuk bersilaturahmi. Untuk orang yang sudah tua, rumah mereka pasti tak pernah sepi. Pasti banyak yang datang untuk sungkem. Begitu pula dengan kakekku. Banyak sekali yang datang mengunjungi kakek, bahkan saudara-saudara yang rumahnya entah di mana (saking jauhnya dari kampung Kakek) akan datang dan sungkem pada Kakek.
Kalau sudah begitu, kami-kami yang masih muda ini harus segera tanggap. Kami harus siap menyediakan minum dan makan berat--ketupat, sayur, dan segala macam lauk. Setelah para tamu mengudap makanan kecil seperti peyek kacang hijau, kue-kue kering, kacang, jenang ... kami biasanya mempersilakan tamu-tamu itu untuk makan ketupat. Tapi tidak semua tamu bersedia makan. Soalnya mereka kadang sudah mendatangi beberapa rumah sebelumnya. Jadi, pas sampai di rumah Kakek, mereka sudah cukup kenyang. Hehehe.
Sebenarnya, aku kurang begitu kenal dengan para tamu yang berdatangan itu. Ya, ya ... semua itu masih terbilang saudara dengan ayahku. Tapi karena hampir tak pernah ketemu, ya akhirnya lupa deh. Paling hanya ingat wajah. Dan sebenarnya ini agak menggelikan, karena tidak pernah bertemu ... e, tiba-tiba minta maaf. Hehe. Lha kan mereka tidak punya salah padaku. ...
Setelah sungkem dengan Mbah Kakung dan menjamu tamu yang datang, aku dan sekeluarga (tanpa Kakek), akan keliling kampung untuk bersilaturahmi. Biasanya kami akan mengunjungi para pakde atau paklik ayahku. Dasar aku ini pelupa, aku panggil saja semuanya Simbah hihi. Aku tak begitu tahu silsilahnya. Intinya sih, semua masih saudara. Acara keliling-keliling ini cukup melelahkan buatku karena kampung kakekku jalannya naik turun dan ada jalanan yang masih berbatu. Tapi yang menyenangkan adalah, sesampainya di rumah saudara, kami bisa makan kenyang ;) Dan aku paling suka kalau ada peyek kacang hijau. Kriyuk ... kriyuk. Gurih sekali.
Kami tidak hanya mengunjungi keluarga yang merayakan lebaran saja. Beberapa saudara ayahku ada yang Katolik seperti keluarga kami, Kristen, dan Buddha. Semua kami sambangi. Dan rasanya sih seneng-seneng saja.
Salah satu aspek Lebaran bagiku adalah reuni keluarga dan melimpahnya makanan. Dua hal itu memang menyenangkan. Tapi ada satu hal yang biasanya membuatku sebal. Apa? Yang tidak aku sukai adalah perjalanan mudik. Karena tidak punya kendaraan pribadi, kami harus rela umpel-umpelan alias berdesak-desakan di dalam bus. Tak jarang kami harus berdiri cukup lama sebelum akhirnya mendapat tempat duduk. Pegel bok!
Tapi sepertinya lebaran di kampung Kakek akan tinggal kenangan saja bagi kami sekeluarga. Sejak Kakek jatuh dan patah tulang, sekarang beliau tinggal bersama orangtuaku di Madiun. Jadi kami tak perlu jauh-jauh kalau mau sungkem dengan Mbah Kakung, hehehe.
Tapi ngomong-ngomong kok mendadak aku jadi pengen peyek kacang hijau ya? :D Dan sekarang Lebaran sudah tinggal hitungan hari ini. Enaknya ke mana ya?
*Foto: Mbah Kung yang sedang kangen kampung halamannya
Subscribe to:
Posts (Atom)