Tuesday, September 29, 2009

Sahabat?

Sore itu HP-ku berbunyi. Nomor tak dikenal. Siapa ya?

"Halo...," terdengar suara seorang laki-laki dari seberang sana. Aku merasa kenal dengan suara itu, apalagi kemudian dia menyebutkan nama kecilku. Ya ... ya ... itu pasti teman lama. Tapi siapa ya?

Oh, ternyata dia T, teman SMP-ku dulu. Tak lama kami pun bernostalgia sejenak. Berkat Facebook, aku akhirnya terhubung dengan teman-teman lama. Menyenangkan. Dua pertanyaan yang sering saling diajukan saat aku bernostalgia dengan teman-teman lama adalah: (1) Masih sering pulang ke Madiun? (2) Sekarang paling sering kontak dengan siapa saja?

Untuk pertanyaan pertama, jawabanku biasanya: Masih. Walaupun sudah di Jakarta, aku tetap suka pulang. Hehe. Untuk pertanyaan kedua, aku biasanya menyebutkan dua orang teman SMP-ku yang sampai sekarang masih berkontak: J dan P. Setelah aku menyebutkan dua nama itu, T lalu bertanya, kamu nggak pernah ketemu lagi sama M?

"Ow, tidak," jawabku.
"Kan dia dulu soulmate-mu," katanya. Hahaha. Aku tertawa mendengar istilah yang dia pakai. Soulmate? Kami memang sering sebangku dulu. Tapi soulmate? Ah, rasanya enggak segitunya deh. Pertanyaan T soal M itu mau tak mau membuatku terlempar ke masa lalu. Perlahan-lahan kenanganku dengan M kembali muncul.

Aku mengenal M ketika pertama kali masuk SMP. Sebenarnya orang tuaku kadang menceritakan soal M. Maklum, M adalah putri teman orangtuaku. Dan ketika kami masuk SMP yang sama, entah bagaimana kami langsung dekat. Kadang aku main ke rumahnya. Tapi dia jarang sekali main ke rumahku. Seingatku dia malah baru sekali ke rumahku. Memang rumah kami agak jauh. Dan waktu itu sepertinya dia ke mana-mana naik becak atau diantar orangtuanya, sedangkan aku lebih suka keluyuran naik sepeda. Jadi, biar jauh, aku datangi juga rumahnya. Kalau kupikir-pikir orang tuanya overprotected terhadap anak perempuannya itu. Entah kenapa. Bisa jadi karena lokasi rumahnya yang cukup jauh itu. Dan jalan ke rumahnya cukup ramai. Seingatku, waktu itu jalan menuju rumahnya dilewati bus antar kota. Tapi aku yang memang hobi bersepeda, menganggap jalanan yang ramai itu tak masalah. Lagi pula Madiun kan kota kecil, jalanan yang ramai itu tidak ramai-ramai banget (jika dibandingkan dengan jalan raya di kota besar seperti Jogja atau bahkan Jakarta). Aku yakin bisa berhati-hati kok.

Banyak orang menganggap kami bersahabat. Tapi kalau ditanyakan kepadaku, aku tak tahu apa jawabnya. Mungkin iya, mungkin tidak. Di satu sisi, aku sebenarnya suka berbagi cerita dengannya. Tapi kok sepertinya dia enggan banyak cerita denganku ya? Satu hal yang aku ingat betul dan hal itu seperti "menamparku" adalah ketika entah bagaimana aku tahu ada seorang anak laki-laki yang suka padanya. Waktu itu, dia tak menceritakan hal itu kepadaku. Dia lebih suka menceritakan hal itu kepada teman kami yang duduknya di belakangku. Aku mendengar gosip tentang hal itu dari teman lain. Waktu kutanya, dia diam saja. Aku merasa sedih karena dia sama sekali tidak bercerita kepadaku soal itu.

Sedih?

Iya, aku sedih. Karena aku biasa menceritakan apa saja kepadanya, tetapi dia tidak melakukan hal yang sebaliknya kepadaku. Saat itu aku memang masih berpikir bahwa yang namanya bersahabat adalah jika kami sama-sama berbagi apa pun itu. Ya, kenyataan itu seperti "menamparku" karena aku merasa hubungan kami tidak seimbang. Sepertinya aku lebih banyak menceritakan rahasiaku kepadanya, tetapi dia tidak mencuilkan rahasianya sedikit pun kepadaku. Rasanya kok gimanaaa gitu. Dan sejak itu aku jadi agak jauh dengan M. Kami hampir tak pernah bertemu lagi sejak lulus SMP.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, M memang berhak memilih teman lain (selain aku). Sah-sah saja dia menceritakan rahasianya kepada teman lain. Lagi pula, apa hakku mengharuskannya menceritakan kepadaku semua hal tentang dirinya? Tidak kan?

Sementara teman-teman lain masih mengira kami bersahabat, aku mulai mendefinisikan ulang arti persahabatan dan apa artinya persahabatanku dengan M. Sejak saat itu aku tidak dengan mudahnya menganggap orang yang saat ini dekat denganku sebagai sahabat. Bagiku, sahabat itu tak bisa kupilih. Seorang sahabat itu terdefinisi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Waktulah yang akan menjawab siapa sebenarnya sahabatku. Waktu akan menguji siapa teman yang tulus, siapa yang bersedia dijadikan tempat berbagi cerita, siapa yang tetap mau meluangkan waktu dan tenaga untuk memupuk relasi, siapa yang masih mau menyapa walaupun jarak terbentang. Dan aku akan senang sekali saat menemukan orang yang bisa menjadi sahabat :)

Friday, September 25, 2009

Bagaimana Menumbuhkan Kesadaran untuk Beres-beres Rumah?

Masih ingat ceritaku waktu lebaran kemarin? Nah salah satu bahan perbincanganku bersama tante-tanteku adalah soal ribetnya bersih-bersih dan pembagian kerja di rumah. Maklum, selama libur lebaran ini, para tanteku itu harus merelakan para pembentes mereka alias para asisten rumah tangga mereka untuk libur. Jadilah mereka yang biasanya jarang menengok dapur dan beres-beres rumah, mau tak mau akhirnya beberes rumah. Plus masak tentunya.

Saat itu, ada empat orang perempuan berkumpul--termasuk aku. Saat mereka saling bercerita bagaimana capeknya beres-beres rumah, aku cuma diam saja. Lha emang mau bagaimana? Aku lupa sudah berapa lama aku tak punya asisten rumah tangga. Jadi urusan rumah itu ibarat makanan sehari-hari. Dan karena tahu betapa capeknya kalau menginginkan rumah yang rapi dan kinclong, aku tak pernah memaksa diri untuk beres-beres. *Hey, memang kerjaanku cuma beres-beres rumah doang? Enggak kan?* Lagi pula dengan bekerja di rumah begini, urusan pekerjaan dan beres-beres rumah semuanya bercampur menjadi satu. Sekarang prioritasnya apa dulu? Kalau mementingkan pekerjaan yang masih nangkring di komputer, ya nyapunya nanti saja. Setidaknya sudah cuci piring. Jadi, kalau mau makan tak perlu grubak-grubuk mencari piring bersih. Duh ketahuan malasnya ya? Hihihi.

Tapi kurasa pekerjaan rumah itu tak ada habisnya. Coba pikir, kita makan tiga kali sehari. Dan tiap kali makan, berarti itu ada piring, sendok, dan gelas yang kotor. Belum lagi kalau kita masak sendiri, pasti ketambahan penggorengan dan panci yang kotor. Lalu, jika kita ganti baju setiap hari, berarti cucian kotor itu akan selalu ada! Setelah kita mencuci baju, tentu baju-baju itu akan mengantre untuk disetrika. Belum lagi lantai berdebu yang menuntut untuk disapu dan dipel. Masih kurang? Tak perlu kujelaskan bahwa rak buku dan meja itu harus dirapikan bukan? Belum lagi kamar mandi juga perlu dibersihkan. Duh, kalau mengingat itu semua, aku tak akan bisa ngeblog ... eh menyelesaikan editan dan terjemahan dong! Padahal kalau sudah tenggelam dalam naskah, rasanya malas banget untuk beranjak dari depan komputer. Jadi, kalau suamiku libur, aku biasanya akan meminta dia membantu mencuci piring atau paling tidak menyapu. Bantuan untuk dua hal itu saja sudah sangat membantu loh! *Jadi, hai kalian para suami dan laki-laki, bantuan kalian untuk mengerjakan pekerjan rumah tangga itu sangat berharga bagi kami kaum perempuan ini!*

Oke, kembali ke obrolan para tanteku tadi. Akhir-akhir ini yang jadi keprihatian mereka adalah bagaimana caranya supaya anak-anak mereka sadar akan pekerjaan rumah? Dengan kata lain, bagaimana caranya membuat mereka dengan sukarela mau membantu sang ibu? Aku kan belum lama keluar dari masa remaja seperti sepupu-sepupuku itu, jadi sepertinya pertanyaan itu pantas diajukan ke aku. Di masa remaja itu, anak-anak eh aku ding sering merasa malas untuk beres-beres rumah. Akibatnya, kalau di rumah lebih suka goler-goler dan nguap-nguap seperti singa di Taman Safari yang tak punya kerjaan itu. Setelah seminggu sekolah, boleh dong kalau di hari Minggu kita bersantai sejenak? Tapi para ibu memang sepertinya lebih suka mengajak kita berolahraga untuk membuat rumah tampak kinclong. Duh, plis deh Mam!

Dulu, keluargaku juga punya semacam asisten rumah tangga. Aku sebut "semacam" karena tidak betul-betul asisten. Mereka masih saudara, dan tidak semua pekerjaan dilakukan oleh mereka. Tapi banyak juga sih yang mereka kerjakan. Ah, ribet menjelaskannya. Pokoknya begitu aja deh. Dan aku yang masih nakal ini kadang malas banget kalau disuruh bantu-bantu. Maunya cuma setrika saja. Atau mengepel dan mencuci baju sendiri. Kerjaan yang lain? Ah, nanti juga ada yang membereskan. Huuu ... kurang ajar sekali kan aku?

Tetapi akhirnya sampailah aku pada suatu masa di mana aku mendapat tanggung jawab untuk beres-beres. Kapan itu? Tepatnya sih saat aku di asrama--saat aku kuliah. Saat tinggal di Asrama Syantikara, kami masing-masing punya tugas untuk bersih-bersih. Yang wajib sih setiap hari secara bergiliran kami menyapu dan mengepel unit. Yang dimaksud dengan unit adalah semacam rumah kecil yang kami tempati berdelapan. Ya, betul ... satu unit itu ditempati oleh 8 orang. (Bisa kebayang kalau kami berantem?) Eh, tapi ada juga yang ditempati 4 orang. Tapi rata-rata 8 orang. Selain bergiliran menyapu dan mengepel unit, dalam seminggu kami juga bergiliran untuk membersihkan wastafel (yang entah bagaimana dalam seminggu selalu ditumbuhi lumut tipis); membersihkan kamar mandi atas dan kamar mandi bawah (maksudnya, menguras bak dan menyikat lantai kamar mandi); membersihkan kaca; membereskan lemari tempat kami menyimpan susu, teh, mi instan, dan berbagai bahan logistik lainnya; membereskan rak sepatu, membersihkan kompor ... hmmm ... apalagi ya? Tapi kurang lebih begitu deh. Dan untuk urusan kami masing-masing, ya kami harus mencuci dan setrika baju sendiri. Biasanya anak-anak yang punya uang saku lebih, mereka menggunakan jasa laundri yang banyak tersebar di daerah kampus.

Setelah keluar dari asrama tidak berarti aku bisa leyeh-leyeh. Setelah dari situ ... aku tinggal bersama kakakku dan selain beres-beres rumah, kami harus mulai belajar memasak. Duh, anak-anak mami ini mau tak mau harus turun ke dapur, hahaha! Yang dulunya cuma tahu masak air, sekarang paling enggak belajar masak sayur bening deh! Ya, akhirnya mau tak mau kami belajar untuk mengenal pekerjaan rumah. Mau tak mau? Lah iya. Entah mengapa aku dan kakakku kok merasa agak bagaimanaaa gitu kalau harus mempekerjakan asisten rumah. Aku sendiri sampai sekarang merasa lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri. Paling-paling dibantu suamiku. Tapi yah, lagi-lagi aku tidak memaksa diri untuk mengerjakan semuanya. Lagi pula, kalau disuruh memilih, aku lebih memilih untuk mengerjakan terjemahan atau keluyuran bersama suamiku. Hehehe, hidup nggak harus melulu untuk beres-beres rumah kan?

Jadi, kalau ada orang tua yang bertanya bagaimana caranya membuat anak-anak mereka lebih sadar pekerjaan rumah tangga? Jawabannya: masukkan mereka ke Asrama Syantikara hihihi! Tapi intinya sih, jangan dimanja deh dan beri tanggung jawab. Nanti lama-lama juga sadar kok. Atau ada yang punya tips lain?

Monday, September 21, 2009

Televisi VS Mengobrol

Kata suamiku, dulu waktu lebaran, film-film yang diputar di televisi adalah film Warkop. Lho kok pakai istilah "kata suamiku"? Memangnya nggak pernah lihat televisi? Memang sejak kecil, aku hampir tak pernah menonton acara televisi sewaktu lebaran. Aneh ya? Sebenarnya enggak juga. Sejak kecil, aku dan keluargaku selalu pergi ke rumah Kakek di desa beberapa hari menjelang hari Idul Fitri. Seingatku, aku tak pernah absen pergi ke sana. Kadang bosan juga sih tiap lebaran kok mesti pergi ke luar kota. Dan bepergian dengan kendaraan umum menjelang lebaran itu tidak terlalu menyenangkan buatku. Terminal yang penuh dan harus berdesak-desakan di dalam bus bukan suatu pilihan yang kusukai. Tapi mau bagaimana lagi? Itu suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Namanya juga masih bocah, dulu aku selalu sebal karena tahu aku tidak bisa menyaksikan acara televisi yang bagus-bagus semasa lebaran. Maklum, rumah kakekku itu ndeso banget. Tak ada televisi. Bahkan aku masih ingat, dulu tak ada listrik di sana. Baru ketika aku sudah agak besar, ada listrik masuk desa. Senangnya! Ketika sudah ada listrik, di rumah kakekku tidak serta merta ada televisi seperti rumah-rumah tetangganya. Rumah kakekku baru ada televisi setelah orangtuaku di Madiun membeli televisi berwarna dan televisi hitam putih yang selama ini kami pakai dihibahkan kepada Kakek. Seingatku, orangtuaku membeli televisi berwarna ketika aku sudah SMA.

Nah, ketika lebaran di tempat Kakek, dulu aku berharap bisa menonton acara televisi. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi ya ... harus diakui dulu aku masih kecanduan televisi. Hihi. Jadi, kalau ada acara yang bagus sedikit saja, pasti segera nongkrong di depan televisi. Tapi itu dulu lo! Soalnya sekarang sudah tidak lagi. Wong di Jakarta ini aku nggak punya televisi kok. Mau nyandu bagaimana?

Nah, kemarin saat lebaran hari pertama, aku dan suamiku berkumpul di rumah Om Agus, seorang adik ibuku yang tinggal di Bekesong ... eh, Bekasi maksudku. Di sana suasana cukup ramai. Maklum, empat keluarga berkumpul, plus para keponakan juga rame-rame ke sana semua. Nah, di rumah omku itu, televisi sepertinya tak pernah istirahat. Seingatku sih begitu, ya. Setidaknya kemarin televisi kabel yang menayangkan film-film dari luar negeri itu terus menerus membius para keponakan yang sepertinya sakau kalau tidak menonton tipi. Apalagi di depan televisi disediakan berbagai macam kue plus minuman bersoda yang tentunya tak bisa dilewatkan begitu saja, maka kami semua rame-rame menatap kotak ajaib itu.

Tapi sebenarnya aku agak bosan juga. Mungkin karena filmnya kurang menarik bagiku, dan ketika aku datang filmnya sudah berjalan separuhnya. Jadi, makin malas saja aku menontonnya. Tapi, mau ngapain lagi ya? Akhirnya kue-kue yang disajikan itu kucoba satu persatu. Setelah bosan, aku mulai melirik anggur dan jeruk. Hihihi. Akhirnya, salah seorang tanteku berseru, "Hey ... mbok ngobrol to! Mosok udah jauh-jauh datang ke sini cuma nonton tivi saja?" Wah, rupanya ada yang bosan juga kaya aku :D Tapi toh, yang menanggapi omongan tanteku itu cuma empat orang termasuk aku. Kami akhirnya memisahkan diri dan mengobrol sendiri. Yang lainnya sih masih asyik memelototi televisi.

Hal seperti itu tentu tidak terjadi saat kami berlebaran di desa kakekku. Dulu saat kami berkumpul, tak ada televisi yang menyala. Dan kami pun menobrol dan bercanda dengan gayeng. Acara televisi ibarat jadi salah satu "makanan" yang disajikan oleh tuan rumah. Biasanya para penikmat acara televisi ini jadi terbius dan tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Kupikir-pikir televisi kadang memang tidak membuat kita jadi semakin dekat satu sama lain, karena justru dengan menonton televisi kebanyakan orang akhirnya malas mengobrol dengan orang di sekitarnya.

Saturday, September 19, 2009

Sepotong "Jakarta Kecil" Menjelang Lebaran

Sabtu pagi, seperti biasa hampir selalu ada SMS dari temanku, Joanna, "Mau ke pasar nggak?" Dia temanku semasa SMP dulu yang sudah lama merantau di Jakarta ini. Rumah kami hanya berjarak dua gang. Memang hampir setiap pagi kami ke pasar bersama. Kalau dipikir-pikir lucu juga. Wong cuma ke pasar tradisional loh, kok ya selalu berdua. Hihi. Sejarahnya dimulai ketika aku pertama kali tinggal di Jakarta dan masih asing dengan lingkungan sekitar tempat tinggalku, dialah yang mengenalkanku pada pasar tradisional di dekat rumah. Sebenarnya ada pedagang sayuran yang tiap pagi lewat depan rumah, tetapi kata dia, "Mahal itu. Mendingan ke pasar." Dan pasarnya memang tak seberapa jauh dari rumah. Hanya keluar kompleks sedikit.

Pertama kali ke pasar tradisional sendiri, aku berencana membeli ayam dan sayuran untuk masak sup. Pertama kali kudatangi penjual ayam. "Beli seperempat kilo saja ya, Bu," kataku. "Nggak bisa Mbak, belinya mesti satu ekor atau setengahnya." Waduh! Setengah ekor itu banyak banget bagiku. Dan pasti tidak habis nanti. Lagi pula saat itu aku belum punya lemari es. Akhirnya aku urung membeli ayam. Menu hari itu tak jadi sup ayam.

Kebingunganku berbelanja di pasar itu kuceritakan kepada Joanna. Akhirnya, ketika akhir minggu tiba, kami ke pasar bersama. Dia membantuku "beradaptasi" dengan kebiasaan pedagang-pedagang di sini. Dialah yang memperkenalkanku pada beberapa pedagang yang sudah menjadi langganannya. Kalau beli ayam di ibu-ibu yang kiosnya di tengah pasar, "Ayamnya lebih bagus daripada pedagang lainnya," katanya. Dan memang penjual ayam potong itu selalu dikerumuni lebih banyak orang daripada yang lainnya. Kalau mau beli sayur agak murah, datanglah lebih pagi ke pasar karena di pinggir jalan ada seorang ibu-ibu setengah baya yang menjual sayur secara "grosiran". Harganya lebih miring dibandingkan jika kita membeli di dalam pasar.

Dan Sabtu kemarin kami ke pasar lagi. Awalnya aku pikir aku belanja setelah lebaran saja. Tapi kata Joanna, sekitar tiga hari setelah lebaran harga barang-barang di pasar biasanya justru lebih mahal. Masih banyak pedagang yang libur, sehingga oleh pedagang yang ada harga barang justru dinaikkan setinggi langit. Okelah kalau begitu. Aku percaya kata-katanya karena toh dia sudah lama tinggal di sini. Akhirnya aku ke pasar bersamanya untuk membeli sedikit tambahan persediaan sayur.

Ternyata Sodara-sodara, pasarnya puenuuuuuh! Kalau istilah ibuku: "ora iso dipiyak" yang artinya tidak bisa disibakkan. Orang-orang berjubel di lorong pasar sehingga hampir tak ada jalan. Di beberapa titik kami harus berjalan sangat pelan dan berdesak-desakan. Jangan tanya berapa kali aku harus membiarkan kakiku terkena sandal orang lain yang kotor dan didorong-dorong dengan cukup kuat dari belakang saat mencari jalan. Dan ada banyak pedagang musiman--kebanyakan sih pedagang ayam, kelapa, dan baju. Aku cepat-cepat memutuskan sayur apa saja yang hendak kubeli.

Sejenak aku berpisah dengan Joanna karena dia akan mengantri membeli ayam di pedangang langganannya. Ya, dia harus antri cukup lama karena pembeli ayam berjubel banyak sekali! Aku akhirnya menunggunya di tempat yang agak lapang sambil meneruskan belanja sawi. Dan dia lamaaaa sekali. Duh, sudah tak sabar aku. Rasanya aku pengin pulang duluan saja. Dan menyaksikan pasar yang hiruk pikuk tak karuan itu membuatku pusing. Tempat parkir yang biasanya hanya memakan satu lajur, sekarang jadi dua lajur. Itu masih ditambah dengan adanya kios-kios pedagang musiman. Uh, hampir tak ada tempat untuk berdiri. Dan memang rasanya aku seperti orang dodol berdiri begitu saja di keramaian dan orang yang wira-wiri.

Sekilas kudengar percakapan seorang pengendara mobil dengan petugas parkir, "Bang kok penuh begini? Mau parkir di mana, nih? Tau gini saya kan nggak masuk ke sini," kata si supir.
"Memang di depan nggak dikasih tahu kalau penuh, Pak?" tanya petugas parkir.
"Enggak." Nadanya sedikit ketus. "Lain kali dikasih tahu dong, Bang! Jalanan udah sempit begini tetep saja mobil dikasih masuk."

Hmmm ... "Jakarta kecil", pikirku. Lahan yang ada cuma segitu-gitu saja, tetapi orang-orang yang datang semakin banyak karena di situlah roda ekonomi berputar. Tempat memang sudah semakin sempit, jadi, ya mesti mau empet-empetan. Di saat-saat yang hiruk pikuk seperti itu, orang akhirnya hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak heran orang mencari kesempatan di antara kesempitan. Intinya sih, kalau bisa mengambil untung banyak-banyak, kenapa tidak? Kalau bisa memanfaatkan orang lain, kenapa tidak? Saat itulah orang mencari selamat bagi dirinya sendiri.

Lebaran sudah mengintip. Semua orang berbelanja. Semua ingin merayakan lebaran dengan berpesta. Tapi aku tak ingin berlama-lama di pasar. Untung kulihat Joanna sudah mendapatkan ayam potong. Lega rasanya.

Kepada teman-teman yang merayakan Idul Fitri, saya mengucapkan selamat merayakan kemenangan, ya! :)

Wednesday, September 16, 2009


Teknik Menulis

Malam itu mendadak teleponku berdering. Nomornya tak dikenal. Agak ragu juga mau kuangkat. Tetapi siapa tahu ada tawaran pekerjaan? Yah, nanti kalau aneh-aneh, tinggal matikan saja. Beres kan?

Kudengar suara seorang lelaki di seberang sana. Duh, siapa pula ini? Suaranya agak serak. Hampir saja mau kumatikan telepon itu karena aku tak kenal. Owh, tunggu dulu ... rupanya dia seorang pengurus sebuah kegiatan di sebuah gereja. Katanya dia mengenalku dari seorang teman kantorku dulu. Oke ... oke. Lalu? Dia memintaku untuk menjadi narasumber di acara pemuda gereja tersebut.

Aku? Enggak salah nih?
Memangnya acara apa?

Dia bilang, mereka akan mengadakan kegiatan yang membahas teknik(?) penulisan. Yah, kurang lebih begitu informasi yang nyantol di kepalaku.

Hmmm ... rasanya salah memilih orang deh. Aku bukan seorang pembicara yang baik. Apalagi kalau harus berhadapan dengan banyak orang. Ow ... ow ... bisa mati berdiri nanti. Kasihan kan kalau mereka harus kerepotan mengurusi aku yang langsung deg-degan tidak karuan kalau berdiri di depan umum. Ugh, aku tak pernah menikmati menjadi pembicara di muka umum. Suwer dikewer-kewer. Daripada mengecewakan mereka, lebih baik tidak. Kalau bicara di kelompok kecil yang tak lebih dari lima orang, bolehlah. Tapi kalau lebih dari itu? Oh, no! Dan tentunya salah satu alasanku memilih menjadi seorang pengotak-atik kata di belakang layar adalah karena aku tak suka berdiri di depan umum. Please deh, cari orang lain saja.

Memang belakangan ini sekolah penulisan memang cukup marak. Dan sebetulnya kalau mau mencoba jadi pembicara, aku bisa dapat uang saku tambahan. Tapi tidak ah. Aku kurang tertarik dengan sekolah penulisan. Dulu, beberapa tahun lalu, aku kadang mengikuti kegiatan seperti itu. Tentunya sebagai peserta, dong. Nggak mungkin aku yang bukan siapa-siapa ini dijual namanya sebagai pembicara. Hehe. Dan setelah beberapa kali mengikuti acara-acara tersebut, lama-lama bosan juga. Isinya kurang lebih sama. Begitu-begitu saja.

Jadi, sebenarnya kalau ditanya apa sih bagaimana teknik menulis itu? Jawabanku cuma satu: Banyak-banyak membaca. Wis. Itu saja. Itu kalau menurut aku lo, ya. Kurasa seseorang akan memiliki penulis favorit. Dan biasanya tulisan yang kita buat sedikit banyak akan "mencontek" gaya penulis favorit kita.

Tapi masak cuma dengan banyak membaca kita jadi bisa langsung menulis? Kalau dari pengalamanku, memang cuma begitu. Dan banyak mengamati, ding. Kalau mau bikin tulisan berbobot, ya mesti mau bersusah-susah melakukan penelitian. Jangan lupa pintar-pintar cari sponsor yang bisa mendanai penerbitan buku tersebut. Kalau mau menerbitkan buku yang laris manis, bikin saja buku yang isinya kocak, lucu, atau mengaduk-aduk perasaan. Nggak ada isinya ya, tidak apa-apa. Toh banyak orang yang butuh hiburan kok. Tapi kalau bisa sih, ya tambahkan informasi yang bisa memperkaya pembaca. Tulisan bergaya motivasional juga sedang laris. Jangan lupa promosi ke sana-kemari. Silakan saja mau menulis macam apa. Mau menulis dengan hati boleh, mau cari uang juga boleh. Sah-sah saja. Tapi kalau boleh usul, tulislah sesuatu yang bisa menimbulkan pemikiran atau perubahan positif--tentunya dengan bahasa yang enak dibaca ya, biar editor dan pembacanya tidak perlu mengerutkan kening karena tidak mudeng dengan apa yang tertulis.

Menulis itu ibarat naik sepeda. Awalnya memang masih tidak lancar. Tapi coba ... coba ... dan coba lagi. Nanti lama-lama akan merasakan keasyikan sendiri dalam menulis. Kalau sudah dicoba tetapi tidak bisa menikmati, ya barangkali panggilanmu bukan menjadi penulis. Jadi pembaca (dan pembeli buku) saja. Itu juga menyenangkan kok ... setidaknya bagi penulis yang bukunya kalian beli. Lumayan bisa sedikit nambah royalti atau honor. Hehe.

Aku sadar, tulisanku sendiri tidak terlalu berbobot. Biasa saja. Banyak tulisan orang lain yang lebih berbobot, informatif, dan memberikan pencerahan. Jadi, memang harus lebih banyak membaca lagi nih.

*Foto diambil dari sini

Monday, September 14, 2009

Mengenang Lebaran di Kayuwangi ...

Dulu, ketika aku masih belum tinggal di Jakarta, lebaran adalah hari yang cukup sibuk. Meskipun tidak merayakannya, aku dan keluargaku ikut meramaikan Lebaran. Maklum, keluarga besarku banyak yang berlebaran.

Kali ini aku mau bercerita soal lebaran di kampung halaman kakekku. Kami biasanya melewatkan Lebaran hari pertama di kampung halaman ayahku, di desa Kayuwangi di kaki Gunung Gajah, di Ambarawa sana. Sebenarnya aku agak bingung, kampungnya ayahku itu masuk Salatiga atau Ambarawa, ya? Menurutku sih tengah-tengah, hehe. Dan di sana lebaran itu ramai sekali. Keluarga-keluarga yang tidak merayakan Idul Fitri tetap memajang kue-kue dan tak sedikit orang yang datang ke rumah mereka untuk bersilaturahmi. Untuk orang yang sudah tua, rumah mereka pasti tak pernah sepi. Pasti banyak yang datang untuk sungkem. Begitu pula dengan kakekku. Banyak sekali yang datang mengunjungi kakek, bahkan saudara-saudara yang rumahnya entah di mana (saking jauhnya dari kampung Kakek) akan datang dan sungkem pada Kakek.

Kalau sudah begitu, kami-kami yang masih muda ini harus segera tanggap. Kami harus siap menyediakan minum dan makan berat--ketupat, sayur, dan segala macam lauk. Setelah para tamu mengudap makanan kecil seperti peyek kacang hijau, kue-kue kering, kacang, jenang ... kami biasanya mempersilakan tamu-tamu itu untuk makan ketupat. Tapi tidak semua tamu bersedia makan. Soalnya mereka kadang sudah mendatangi beberapa rumah sebelumnya. Jadi, pas sampai di rumah Kakek, mereka sudah cukup kenyang. Hehehe.

Sebenarnya, aku kurang begitu kenal dengan para tamu yang berdatangan itu. Ya, ya ... semua itu masih terbilang saudara dengan ayahku. Tapi karena hampir tak pernah ketemu, ya akhirnya lupa deh. Paling hanya ingat wajah. Dan sebenarnya ini agak menggelikan, karena tidak pernah bertemu ... e, tiba-tiba minta maaf. Hehe. Lha kan mereka tidak punya salah padaku. ...

Setelah sungkem dengan Mbah Kakung dan menjamu tamu yang datang, aku dan sekeluarga (tanpa Kakek), akan keliling kampung untuk bersilaturahmi. Biasanya kami akan mengunjungi para pakde atau paklik ayahku. Dasar aku ini pelupa, aku panggil saja semuanya Simbah hihi. Aku tak begitu tahu silsilahnya. Intinya sih, semua masih saudara. Acara keliling-keliling ini cukup melelahkan buatku karena kampung kakekku jalannya naik turun dan ada jalanan yang masih berbatu. Tapi yang menyenangkan adalah, sesampainya di rumah saudara, kami bisa makan kenyang ;) Dan aku paling suka kalau ada peyek kacang hijau. Kriyuk ... kriyuk. Gurih sekali.

Kami tidak hanya mengunjungi keluarga yang merayakan lebaran saja. Beberapa saudara ayahku ada yang Katolik seperti keluarga kami, Kristen, dan Buddha. Semua kami sambangi. Dan rasanya sih seneng-seneng saja.

Salah satu aspek Lebaran bagiku adalah reuni keluarga dan melimpahnya makanan. Dua hal itu memang menyenangkan. Tapi ada satu hal yang biasanya membuatku sebal. Apa? Yang tidak aku sukai adalah perjalanan mudik. Karena tidak punya kendaraan pribadi, kami harus rela umpel-umpelan alias berdesak-desakan di dalam bus. Tak jarang kami harus berdiri cukup lama sebelum akhirnya mendapat tempat duduk. Pegel bok!

Tapi sepertinya lebaran di kampung Kakek akan tinggal kenangan saja bagi kami sekeluarga. Sejak Kakek jatuh dan patah tulang, sekarang beliau tinggal bersama orangtuaku di Madiun. Jadi kami tak perlu jauh-jauh kalau mau sungkem dengan Mbah Kakung, hehehe.

Tapi ngomong-ngomong kok mendadak aku jadi pengen peyek kacang hijau ya? :D Dan sekarang Lebaran sudah tinggal hitungan hari ini. Enaknya ke mana ya?


*Foto: Mbah Kung yang sedang kangen kampung halamannya

Friday, September 11, 2009

Buku Bestseller?

Aku tak ingat sejak kapan aku tidak lagi percaya begitu saja dengan label BESTSELLER yang dicantumkan di depan sebuah sampul buku. Begitu pula aku tidak langsung membeli buku hanya karena membaca endorsement atau pujian yang diberikan oleh seorang tokoh masyarakat yang tercantum di sampul depan suatu buku. Apalagi kalau buku itu sedang heboh di masyarakat, wah ... aku malah akan berpikir ratusan kali untuk membeli buku tersebut. Setiap kali melihat buku yang sedang heboh di pasaran, aku justru enggan melirik atau membeli buku tersebut.

Mungkin ketidakpercayaanku itu mulai timbul beberapa tahun lalu saat ada sebuah buku yang heboh sekali di pasaran. Tak sedikit orang yang mengatakan bahwa buku itu bagus sekali. Dan bahkan sampai sekarang buku itu masih jadi bahan pembicaraan banyak orang. Karena penasaran dan kupikir buku itu bakal membuatku terpesona, tanpa pikir panjang aku pun membelinya. Sesampainya di rumah, tak sabar kubaca halaman demi halaman. Lima halaman pertama, yah ... lumayan. Saat kuteruskan lagi, kok rasanya tidak semenarik yang kuharapkan ya? Begitu-begitu saja. Membosankan. Dan sepertinya si penulis suka melebih-lebihkan ceritanya. Pluk! Kututup buku itu dan sampai sekarang aku tak pernah membaca kelanjutan ceritanya. Begitu pun ketika si penulis mengeluarkan buku-buku karyanya lagi, aku tak pernah tertarik membelinya. Banyak orang masih mengatakan bahwa buku karya si X bagus luar biasa. Tapi maaf, mungkin seleraku berbeda. Ada buku-buku lain yang menurutku kualitasnya jauh lebih baik dari buku itu—baik dari segi penulisan, penyuntingan, dan isinya. Nah, sejak itulah aku tak pernah lagi percaya pada embel-embel bestseller atau endorsement yang tercantum di sampul buku.

Saking banyaknya orang yang menyukai buku tersebut, aku kadang terdiam beberapa saat jika ada orang yang menanyaiku apakah aku membaca buku itu. Biasanya aku akan bertanya balik, “Kenapa?” atau “Kamu baca juga ya?” Aku tak ingin terjebak. Tapi syukurlah selama ini orang yang bertanya kepadaku, rata-rata juga tidak menyukai buku tersebut. He he he. Yang kadang aku herankan adalah kenapa suara-suara orang yang tidak menyukai buku itu tidak pernah muncul di media ya? Yang justru keras suaranya adalah suara orang-orang yang menyukainya. Aku tak tahu kenapa fenomena ini terjadi. Aku bertanya-tanya, apakah ini terjadi karena masyarakat kita tidak biasa menyatakan suatu yang berbeda ya? Atau semua itu melulu karena selera?

Ah, aku tak tahu kenapa hal itu terjadi. Tapi yang jelas, aku membeli buku rata-rata karena aku sudah tahu kualitas penulisnya. Selain itu, kalau ada teman sesama pembaca buku yang seleranya sama denganku mengatakan bahwa suatu buku bagus, biasanya aku percaya. Ngomong-ngomong, pertimbangan apa yang kalian pakai saat membeli buku?

Monday, September 07, 2009

Mencari Tuhan di Balik Cinta

Pernah punya pacar beda agama?

Bagaimana rasanya? Pusing menghadapi orang-orang di sekitarmu yang kadang tanpa diminta ikut urun rembug soal relasi kalian? Menyebalkan memang. Dan di negara ini memang sepertinya masih sedikit celahnya untuk orang yang beda agama bisa menikah dengan lancar. Kadang salah satu harus "mengalah" dengan berpindah agama. Kenapa harus pindah? Orang bilang, kalau di dalam satu rumah ada dua nakhoda, kan kasihan anak-anaknya.

Hmmm ... Sulit.

Aku sendiri tak bisa mengatakan pindah agama mengikuti salah satu pasangan itu baik atau benar. Dan aku tidak mengatakan bahwa sebaiknya begitu. Tapi begini, aku pernah dengan seorang lelaki yang seagama denganku, tetapi untuk urusan yang namanya agama, pikiran kami tidak nyambung. Aneh? Ya aneh. Dulu kupikir kalau seagama ya akan lancar-lancar saja. Tapi dari pengalamanku, tidak begitu. Ada saja yang kami perdebatkan untuk urusan di balik agama ini, dan kami tidak nyambung. Jadi, sudahlah ... bubar saja. Dari situ aku berpikir, mendapatkan pasangan yang seagama tidak selalu mempermudah hubungan.

Beberapa waktu lalu, di radio aku mendengar cuplikan dialog tentang sebuah film yang menggambarkan sebuah relasi antara laki-laki dan perempuan yang beda agama. Mungkin karena penasaran plus punya pengalaman pernah patah hati lantaran masalah serupa, aku pun mengajak suamiku untuk menyaksikan film itu. Judulnya CIN(T)A. Kupikir film itu diputar di semua jaringan bioskop 21. Tapi rupanya tidak, hanya di Blitz Megaplex saja film itu ditayangkan. Dan kata suamiku, Blitz yang di MOI (Kelapa Gading), tidak memutarnya. Jadi, harus segera nonton nih sebelum film ini hilang dari bioskop.

Sebenarnya aku tidak terlalu berharap akan mendapatkan suguhan film yang apik. Yah, selama ini film Indonesia kan tidak jauh-jauh dari pocong, kuntilanak, dan film komedi yang tidak jelas itu. Kalau film ini jelek, ya sudah ... namanya juga Indonesia (kok jadi nggak percaya sama buatan Indonesia sih? Duh!).

Ternyata aku salah. Film ini betul-betul menarik perhatianku. Kalau dipikir-pikir film ini cuma dua pemainnya. Pemain yang lain cuma dihadirkan lewat suara atau foto. Kalaupun ada orang yang tampil, wajahnya tidak ditunjukkan. Cuma kelihatan punggung atau tampil setengah badan. Pokoknya yang benar-benar tampil utuh, ya cuma Cina dan Annisa. Yang paling keren adalah pengambilan gambar dua jari yang melambangkan kedua tokohnya. Ih, keren. Kayaknya mesra banget. Padahal itu dua jari tok til. Tapi kereeen!

Yang membuatku menyukai film ini adalah dialog-dialognya yang cerdas. Buat orang yang tak pernah puas dengan satu penjelasan dan tak mau dikerangkeng oleh sebuah dogma, kalimat-kalimat yang diucapkan di film ini membuatku merasa "punya teman". Oh, jadi nggak cuma aku to yang berpikir begitu. Salah satu kalimat yang kusukai adalah kalimat yang diucapkan Annisa: "Kamu pikir kenapa Tuhan menciptakan atheis? Capek lagi jadi Tuhan yang selalu dipuja dan disembah. Kenapa tidak mencintai Tuhan apa adanya saja?" (Koreksi jika aku keliru mengutip kalimat itu, tapi seingatku kurang lebih begitu.)

Satu hal lagi yang menarik di film ini adalah cuplikan wawancara dua orang yang menjalin relasi beda agama. Cuplikan itu ditayangkan secara hitam putih. Sepertinya cuplikan-cuplikan hendak menjadi penopang bahwa di dunia nyata banyak sekali orang yang pacaran dan menikah beda agama. Mereka seolah terbentur dinding yang keras, dan mungkin tidak sedikit yang melarang hubungan mereka. Ya ... ya ... aku bisa mengerti. Tapi itu mungkin sebenarnya akar masalahnya cukup dalam dan tidak mudah terurai. Relasi mereka harus terbentur oleh sebuah misteri yang tidak mudah dipecahkan oleh akal manusia.

Menurutku, orang-orang di balik pembuatan film ini patut diacungi jempol atas keberanian mereka mengangkat isu yang cukup sensitif ini menjadi sebuah film. Jarang ada film yang "seberani" ini. Biasanya film yang membahas pasangan beda agama ujung-ujungnya adalah salah satu di antara mereka pindah agama. Akhir cerita semacam itu terlalu menyederhanakan masalah menurutku. Kurang dalam. Dan aku puas dengan film ini. Mungkin karena film ini tidak melihat agama secara hitam putih, tidak menganggap yang satu lebih benar dan yang lainnya salah.

*Gambar di ambil dari sini
Jika ingin mengetahui seluk beluk film ini lebih jauh, klik saja di sini

Wednesday, September 02, 2009

Karena Kita Tak Tahu Kapan Bumi Berguncang

Kemarin, setelah beberapa jam menghabiskan waktu di luar rumah untuk bertemu seorang teman, aku kembali ke rumah dengan perut keroncongan. Untung aku sudah memasak nasi, tetapi belum punya lauk. Beberapa hari ini aku malas memasak. Untungnya lagi, tetangga depan rumahku memasak dan menjual makanan untuk buka puasa. Akhirnya setelah beli lauk aku pun menyendok nasi dari rice cooker. Mendadak badanku seperti bergerak-gerak sendiri maju mundur. Duh sakit apa lagi nih? Masak baru lapar sedikit aku sudah pusing begini? Kupikir, nanti setelah makan dan minum pasti sembuhan. Tapi kok kepalaku nggak sakit ya?

Sesaat kemudian kudengar dari depan rumah beberapa orang berteriak, "Gempa ... gempa!" Sekilas kulihat lampu gantung di ruang tamu bergoyang cukup kencang. Oh, gempa to. Syukurlah. Ternyata aku tidak sakit.

Duh, makilah aku karena mungkin aku terdengar tidak cukup simpatik dengan gempa kemarin yang sempat mampir di Jakarta. Tapi bagiku, gempa kemarin guncangannya tidak sehebat gempa yang kualami 27 Mei 2006 silam. Gempa di Jakarta kemarin paling cuma sepersepuluh gempa di Jogja. Maaf, bukan maksudku mengecilkan, lo. Seorang teman menuliskan bahwa gempa di Jogja dulu ibarat seperti ada naga yang melintas di bawah tanah. Bahkan suara gempa yang kudengar itu dulu seperti suara truk. Gruduk...gruduk... gruduk! Kemarin gempanya nyaris tanpa suara, paling yang kedengaran adalah suara orang-orang yang berlarian dan berteriak-teriak.

Dan, aku maklum sekali jika orang-orang pun panik. Gempa selama kurang lebih 2 menit itu memang membuat banyak orang keluar rumah.

Tapi dari gempa kemarin itu, aku mendapati suatu fakta yang cukup melegakan bagiku: aku tidak panik. *Duh sombongnya!* Harap tahu saja, selama setahun setelah gempa 27 Mei 2006, setiap kali ada gempa kecil, kakiku ini susah sekali untuk ditahan supaya tidak berlari. Setidaknya aku langsung deg-degan dan bangkit dari tempat duduk. Dan dalam hitungan detik, pasti aku segera berlari. Rasanya itu sudah menjadi gerak refleks. Tapi kemarin, aku tidak seperti itu lagi. Hehehe.

Dari kejadian gempa Jakarta kemarin, aku melihat potensi timbulnya korban yang lebih besar jika di Jakarta terjadi suatu bencana. Bukannya mau menakut-nakuti. Tetapi gempa seperti itu saja orang sudah panik luar biasa, apalagi kalau terjadi yang lebih buruk lagi? Satu hal yang perlu dilatih dalam menghadapi bencana adalah menjaga diri supaya tidak panik. Dan hal lain yang penting juga adalah kesigapan masyarakat. Sayangnya, di sini tidak biasa diadakan latihan menghadapi bencana. Jadi, bisa terbayang olehku orang2 akan berlarian tidak karuan jika terjadi suatu bencana. Setidaknya memang perlu dibuat petunjuk oleh pemerintah setempat tentang bagaimana dan apa yang harus dilakukan saat timbul bencana. Misalnya, kalau terjadi gempa, masyarakat mesti bagaimana, tetap di dalam rumah, atau kalau mau lari, lari ke mana. Jadi tidak saling bertubrukan. Serem lo kalau semua orang panik dan kita tak tahu apa yang harus dilakukan. Rasa panik itu menular soalnya--terutama kepada orang yang tidak tahu apa-apa. Bisa ikut arus dan melakukan hal-hal konyol.

Harus kuakui, dulu aku dan kakakku melakukan hal konyol sesaat setelah gempa di Jogja. Tak lama setelah gempa, orang-orang banyak yang menyerukan isu tsunami. Dan kakakku langsung mengajakku naik motor ke arah utara. Saat itu aku cuma pakai baju tidur, Sodara! Kami menuju jalan Kaliurang, dan jalan itu penuh. Macet semacet-macetnya! Padahal kalau dipikir-pikir, tsunami itu pasti tak akan sampai rumah kami yang memang sudah berada di wilayah Jogja utara. Sekarang setelah kupikir-pikir, itu tindakan yang konyol sih. Walaupun bisa dikatakan kami ini cukup berpendidikan, tapi toh kurangnya pengetahuan dan karena dilanda kepanikan, jadi malah ikut arus. Memalukan ya!

Mengingat hal itulah aku pikir, (warga) Jakarta bisa mengalami hal serupa dan mungkin lebih parah lagi. Apalagi Jakarta ini penduduknya buanyak! Bisa kubayangkan, jika di Jakarta terjadi gempa hebat, bisa jadi akan korbannya akan lebih banyak lagi. Kenapa? Pertama, di sini banyak sekali perumahan yang padat penduduk. Rumah-rumah berdempetan, dan tak sedikit rumah yang asal bisa berdiri. Tidak dirancang untuk tahan gempa. Bisa terbayangkan, rumah seperti itu akan mudah rubuh jika dihantam gempa besar. Dan karena padat penduduk--dan bisa jadi mereka juga kurang pengetahuan--akan banyak pula orang yang jadi korban. Korban yang timbul akibat gempa sebagian besar karena mereka tertimpa runtuhan bangunan. Kedua, banyak penduduk yang panik. Kepanikan itu bisa memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, orang yang berlarian tak tentu arah, bisa menimbulkan kecelakaan di jalan. Atau orang bisa meninggalkan rumah tanpa menguncinya, sehingga terjadi kemalingan. Jangan salah lo, banyak orang mengambil kesempatan di antara kesempitan.

Mungkin gempa kemarin bisa menjadi shock therapy yang baik bagi warga Jakarta. Aku berharap pemerintah segera melakukan pelatihan tanggap bencana kepada warganya. Kita tak tahu kapan bumi akan berguncang, kan? Lebih baik berjaga-jaga dan menambah wawasan daripada mati konyol.

Tuesday, September 01, 2009


Nggak Usah Pakai Plastik, Mbak ...

Aku lupa sejak kapan aku selalu membawa ransel jika bepergian. Aku membawa ransel bukan hanya saat bepergian ke luar kota loh, tapi juga waktu jalan-jalan keliling kota, atau sekadar main bersama suami atau teman. Selain itu, ransel adalah salah satu kado yang paling aku apresiasi selain buku dan teh yang enak. Hehehe. Karena memang ransel atau tas yang bisa kucangklong di punggunglah yang membuatku nyaman. Beban jadi lebih imbang di kedua bahu jadi salah satu pundakku tidak terlalu pegal.

Bagiku menyandang ransel itu pas betul jika di Jakarta ini. Kenapa? Karena di kota ini ada beberapa barang yang selalu kubawa. Pertama, botol air minum yang minimal kuisi setengahnya, jika aku tahu di tempat tujuan aku bisa minta air untuk mengisi botol minumku ini hihihi. Botol minumku ini cukup besar, kira-kira isinya hampir 1 liter. Dulu aku pikir bawa botol yang kecil saja, tetapi kalau mau irit ya mesti bawa botol yang besar. Kalau beli di pedagang kaki lima, mahal! Air mineral kemasan 600ml harganya bisa Rp 2.500,00 sampai Rp 3.000,00. Padahal harga normalnya paling cuma Rp 1.500,00-an. Selisih harganya lumayan kan? Hehehe, maaf kalau terlalu itung-itungan. Maklum, emak-emak :D Kalau mau praktis sih, apalah arti selisih harga seribu perak itu. Tapi buatku, selama bisa membawa air minum sendiri dari rumah, buat apa beli?

Alasan lain kenapa aku suka memakai ransel adalah tas ransel itu bisa menampung lebih banyak barang. *Emang mau pindahan, Neng?* Ketika sedang bepergian, kadang mendadak aku merasa perlu belanja sesuatu. Dan alangkah praktisnya kalau aku membawa ransel. Barang-barang belanjaan itu bisa masuk ke dalamnya sehingga aku tak perlu menjinjing beberapa kantong belanjaan. Praktis--menurutku.

Ngomong-ngomong soal belanja, ada benda yang hampir selalu terselip di dalam tas ranselku. Pertama adalah kantong plastik, yang kedua tas kain. Dua benda itu cukup tipis dan tidak memakan tempat. Bisa diambil sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Tapi yang jelas dua benda itu membantuku untuk mengurangi pemakaian kantong plastik saat belanja. Dan jujur saja aku lupa sejak kapan aku sering membawa tas sendiri dari rumah untuk berbelanja. Mungkin aku ikut-ikutan "latah" untuk ramah lingkungan. Yah walaupun mungkin ini tindakan yang tidak berarti dibandingkan para aktivis Green Peace atau WWF, tapi kupikir ini tak ada salahnya.

Memang membawa kantong sendiri dari rumah rasanya tidak cukup praktis. Lebih enak melenggang keluar rumah tanpa membawa apa-apa karena toh nanti di toko petugas akan memberi kita kantong plastik. Hampir semua orang melakukan hal itu. Bahkan suatu kali aku pernah ditegur satpam swalayan besar di Jakarta T** T** karena saat masuk swalayan besar itu aku membawa kantong kosong yang cukup besar (karena aku memang mau belanja banyak). "Mbak, tasnya dititipkan saja," kata pak satpam itu. Karena merasa benar, aku ngeyel dong, "Pak, ini nanti buat bawa barang belanjaan kok. Ini tidak ada isinya." Mungkin karena satpam itu takut aku mengutil atau nyolong, dia bilang, "Nanti kan dari sini dapat kantong plastik." Lagi-lagi aku ngeyel, "Saya nggak mau pakai kantong plastik dari sini. Pak, kalau Bapak tidak percaya sama saya, Bapak bisa ikuti saya saat berbelanja dan bisa nanti cek saja barang belanjaan saya." Hehehe. Hebat kan gaya ngeyelku?

Rasanya memang masih sedikit supermarket yang mengapresiasi pembeli yang membawa kantong sendiri. Dari sekian banyak supermarket yang ada di sini, aku baru menjumpai Superindo yang memberi apresiasi lebih untuk pembeli macam aku ini. Mereka memberikan stiker yang ditempel di sebuah kertas setiap kita berbelanja Rp 10.000 dan kelipatannya. Setelah terkumpul sampai 70 stiker, kita bisa mendapatkan kantong belanja yang bisa dipakai ulang. Buatku yang belanjanya sedikit-sedikit, mengumpulkan 70 stiker itu lamaaaa sekali. Selain di Superindo, ada sebuah toko roti di dekat rumahku yang petugasnya sudah hapal denganku. Setiap kali ke situ untuk membeli roti tawar aku selalu bilang, "Nggak usah pakai kantong plastik, Mbak." Bahkan mbak berambut panjang dan berbehel itu memperingatkan temannya supaya tak usah memberiku kantong plastik saat aku datang dan tampak membawa kantong belanja sendiri :)

Aku tak tahu apakah tindakanku membawa ransel dan kantong belanja sendiri ini memberi dampak besar bagi lingkungan. Tapi setidaknya aku sudah melakukan bagianku. Dan memang sangat sedikit orang yang membawa kantong sendiri saat berbelanja. Selama ini aku belum pernah "mendapat teman" yang sama-sama membawa kantong belanja sendiri saat sedang berbelanja di toko swalayan. Nah, adakah di antara kalian yang mau menjadi kawanku dalam hal kantong belanja ini? ;)

gambar diambil dari: educationforsustainability.files.wordpress.com