Wednesday, April 29, 2009

Antara Akreditasi dan Tukibul

Pas di asrama dulu, kami masing-masing dianugerahi nama unik, sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu nama unik temanku adalah Tukibul. Kenapa diberi nama begitu? Karena dia memang tukang kibul. Saudara sepupunya pun mengakui kelihaiannya dalam kibul mengibul.

Nah, sekarang apa hubungannya antara akreditasi dan tukibul? Ternyata, akreditasi memiliki unsur tukibul. Ceritanya, semalam suamiku yang baru saja pulang langsung mengungkapkan bahwa seorang temannya sedang stres. Teman suamiku adalah dosen di PTS cukup besar di Jakarta. "Memangnya kenapa dia stres?" tanyaku. Aku sebenarnya tidak terlalu kenal dengan temannya itu. Tapi namanya sudah cukup akrab di telingaku.

"Dia dapat surat edaran di kampusnya."
"Lha surat edaran kan sudah biasa to?"
"Isinya itu lo yang enggak biasa."
"Apa isinya?" Aku bertanya-tanya apakah surat edaran itu diselipi telor dadar ya? Hi hi hi.
"Katanya dia enggak boleh ngasih nilai di bawah B. Dan kalau ngasih bimbingan skripsi, dalam 3 bulan harus sudah selesai."
"Kalau mahasiswanya dodol bagaimana?"
"Tauk deh. Kamu tahu sendiri, mahasiswa kan banyak juga yang dodol."
"Lha memang kenapa sih tidak boleh memberi nilai di bawah B dan bimbingan skripsinya harus selesai dalam 3 bulan?"
"Biar penilaian akreditasinya tidak turun."

Horo toyoh, bagaimana itu? (Horo toyoh itu apa ya terjemahannya yang pas dalam bahasa Indonesia?)

Lha kalau begitu caranya, perguruan tinggi apakah masih bisa dipercaya ya? Memang sih, mana ada anak yang tidak senang nilainya A dan B semua? IP-nya selalu 3? Hebat kan? Jadi, tak ada yang namanya mahasiswa yang bodoh.

Ah, sebenarnya bukan mahasiswa bodoh. Tetapi lebih tepatnya, mahasiswa itu dituntut untuk belajar lebih tekun lagi. Misalnya aku nih, aku akan dengan serta merta masuk dalam golongan mahasiswa bodoh kalau untuk mata kuliah kimia. (Lha wong pas ujian kimia di SMA aku selalu keringat dingin, dan sudah seneng banget kalau nilaiku cuma 6.) Eh tapi sebentar, memangnya di Sastra Inggris ada mata kuliah kimia ya? Ha ha ha. Ya enggak, sih. Tapi gampangannya ya begitu deh. Aku memang lemah untuk mata pelajaran tertentu. Jadi jangan heran kalau aku yang pas SMA termasuk anak A1 trus mak bedunduk masuk jurusan Sastra Inggris. Alasan awalnya cuma satu: biar tidak ketemu matematika dan teman-temannya. He he he.

Tapi bagaimanapun, kupikir mahasiswa butuh penilaian yang jujur. Kalau memang dia pantas dapat nilai A, ya kasihlah nilai A. Kalau memang dia hanya pantas dikasih nilai D, ya jangan dikatrol jadi C. Apa bagusnya jika nilai A atau B itu katrolan atau yang lebih parah lagi cuma bohong-bohongan, dan itu dilakukan hanya semata-mata agar universitas yang bersangkutan bisa mendapatkan akreditasi A? Dan sudah bisa ditebak, apa gunanya akreditasi A itu? Yak betul, untuk mendapatkan mahasiswa banyak-banyak. Mahasiswa yang banyak berarti uang yang masuk semakin banyak pula. Akreditasi itu semacam label yang menunjukkan bahwa universitas X itu bagus; nilainya A. Ibarat barang, dia itu kualitas nomer 1 lah. Jadi kalau sampeyan masuk ke situ, nantinya sampeyan jadi pinter, laku di dunia kerja (halah, kaya barang dagangan saja). Begitulah.

Hal itu sebenarnya tak hanya merugikan mahasiswa, tetapi dosen juga ikut mumet. Suami dan kakakku adalah tenaga pengajar alias dosen. Jadi, aku tahulah betapa stresnya mereka kalau para mahasiswanya dapat nilai jelek, padahal bahan yang diujikan sudah pernah disampaikan semua. Kuliah tambahan juga diberikan dengan murah hatinya. E, lha kok nilai mahasiswanya masih jeblok? Piye to?

Dulu pas aku kuliah, kalau semua bahan kuliah dipelajari dengan baik alias bisa dikuasai, nilai A atau B itu gampang didapat. Enggak aneh-aneh lah. Tapi ya memang tidak semua temanku trus langsung dapat A atau B. Ada saja yang dapat C atau D. Apalagi kalau yang ketahuan nyontek, langsung dapat D. Tapi itu kira-kira 13 tahun yang lalu. (Hi hi hi. Ketahuan deh tuanya.) Enggak tahu ya kalau sekarang.

Aku akhirnya hanya berpikir, kalau lembaga pendidikan saja sudah jadi tukibul, bagaimana jadinya bangsa ini ya? Kalau semua ujung-ujungnya duit, bisa hancur semuanya nih. Tinggal tunggu waktu saja.
Pilih Buku Bermutu atau Buku Laris?

Aku senang sekali jika ada kesempatan ke toko buku. Entah itu toko buku yang menjual buku-buku bahasa Indonesia, maupun buku bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Rasanya seperti masuk ke dunia yang memelukku erat-erat. Menyenangkan sekali. Buku-buku itu seperti ribuan pintu yang membawaku ke mana saja.

Nah, tapi belakangan ini ketika aku ke toko buku lokal, aku kadang bertanya-tanya, kenapa ya buku-buku yang nampang di toko buku sekarang kok agak-agak membosankan. Misalnya nih, jenisnya tuh ya buku-buku motivasional, buku-buku lucu, buku fiksi macam teenlit begitu, atau buku jenis how to. Dan itulah yang sepertinya paling laku (mengingat begitu banyak buku semacam itu yang bertebaran di mana-mana). Berbeda dengan toko buku-buku asing, biarpun tokonya kecil, kesannya yang ditampilkan begitu beragam dan banyak yang menarik. Mau cari buku apa saja ada. Dari tema yang remeh-temeh sampai yang membuat kening berkerut.

Memang sekarang ada saja penerbit yang hanya menerbitkan buku-buku tren. Dan sepertinya penerbit-penerbit seperti itulah yang banyak meraih untung. Lha buku-bukunya laku kok. Berbeda dengan penerbit-penerbit yang sepertinya sangat pemilih. Biasanya mereka menerbitkan yang bermutu. Betul-betul mengisi otak dan memperkaya wawasan. Tapi yah, untuk penerbit yang semacam itu, biasanya buku-bukunya tidak terlalu laku.

Masyarakat kita memang seleranya gampang-gampang susah. Aku sendiri yang sudah beberapa tahun ini berkecimpung di dunia buku kadang kesulitan untuk menebak apakah buku X bakal laku atau tidak. Yang kukira bakal laku, ternyata jeblok di pasaran. Aku juga bingung jika ada buku yang menurutku biasa banget (dan bahkan cenderung kubilang jelek), e... malah laku keras dan penulisnya sekarang menjadi seleb. Bingung. Aku cuma berpikir, orang-orang yang menyanjung buku-buku itu apa nggak pernah baca buku yang lebih bagus ya?

Mengikuti selera pasar. Tampaknya itulah yang sekarang dipegang penerbit. Gampangnya nih, kalau masyarakat pengin masuk sumur, nah penerbit-penerbit yang cuma mengikuti selera pasar tuh ya membuatkan sumur. Dodol kan? Nah, kapan ya penerbit di Indonesia bisa benar-benar mendidik pasar? Dan bagi penulis, tinggal pilih saja, mau jadi penulis buku laris atau penulis buku bermutu. Buku laris biasanya jarang ada yang bermutu (karena penulisannya biasanya "kejar tayang"). Kalau mau nulis buku yang bermutu, biasanya butuh penelitian serius. Tapi yang kaya begini, biasanya jarang-jarang ada yang laku banget. Nah, sekarang tinggal pilih saja, mau jadi penulis yang seperti apa. Jadi blogger aja kali ya yang gampang? Hehehe.

Monday, April 27, 2009


Home Sweet Home



Pulang ke Jogja memang selalu membuatku semangat, karena itu berarti aku lepas dari polusi Jakarta yang membuatku terbatuk-batuk. Dan lagi, entah kenapa, aku rasanya sayang banget dengan rumah Jogja. Mungkin rasa sayang itu pula yang membuatku tak pernah "diganggu" kalau tidur di kamar depan. Hi hi hi. Kata kakakku (sang pemilik kamar yang sebenarnya), dia sering tindihan kalau tidur di situ. Dan aku saksinya. Jadi, dulu aku sering menemaninya sampai dia benar-benar tidur pulas. Soalnya, pas menjelang dia pulas, hampir selalu tindihan. Jadi, aku mesti membangunkannya. Hal itu makin parah setelah aku ke Jakarta, katanya. Karena itu, akhirnya dia pindah ke kamar sebelah belakang. Trus, suatu kali , pacar kakakku tidur di kamar depan. Tiba-tiba dia terbangun karena rasanya ada duduk di sebelahnya. Padahal kenyataannya, tak ada siapa-siapa! Hiiii. Kakak sepupuku dulu juga tak pernah bisa tidur di kamar situ. Mimpi buruk terus katanya.

Bagaimana dengan aku? Sama sekali tak pernah diganggu tuh! Hebat kan? Dulu suamiku juga pernah diganggu. Tapi katanya setelah "berkenalan", dia tak pernah diganggu lagi. Akhirnya, kamar itu selalu kosong, kecuali jika ada tamu. Hahaha. Jadi, siap-siap tak bisa tidur ya kalau mau nginep di rumahku.

Jadi, ceritanya pas Pemilu kemarin aku pulang. Apesnya, kereta Fajar Utama yang biasanya cukup nyaman, kali itu penuh banget! Dan panasnya nggak ketulungan. Akhirnya aku sukses masuk angin. Dan seperti biasa, kalau masuk angin parah, aku jadi diare dan nggak bisa makan karena mual banget!

Akhirnya, karena perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kram, aku pun meluncur saja ke Panti Rapih. Akhirnya ... akhirnya aku pun nginep di sana selama 2 malam. Huh! :( Yang paling mengganggu adalah infus. Hiks! Aku paling benci diinfus. Nyut-nyutan rasanya. Budeku sampai bilang begini, "Pulang ke Jogja, kok yang dikangeni kamarnya (yang di Panti Rapih)." Huuu... maunya sih nggak opname, Bude. Sebenarnya setelah nginep 1 malam, aku sudah merasa sehat. Tapi dokter memaksaku untuk tidur semalam lagi di sana. Betul-betul liburan di rumah sakit deh. Aku tak bisa misa Paskah sama sekali. Aku akhirnya cuma bisa membayangkan Yesus meninabobokkan aku. "Tak lelo-lelo ledung..." Untunglah di Panti Rapih tiap malam dapat kiriman hosti.

Gara-gara opname itulah, liburan kali ini suamiku akhirnya lebih banyak menemani aku alias tidak ke mana-mana. Kasihan dia. Padahal sudah ada daftar beberapa makanan yang harus disantap kalau di Jogja. Untunglah kakakku berbaik hati membelikan kami Mi Jawa Pak Paino di Bintaran. Wah, uenak tenan! Di Jakarta sini susah betul cari Mi Jawa. Kalaupun ada, Mi Jawa-nya gadungan, karena tidak pakai telor bebek dan dagingnya bukan ayam kampung.

Setelah keluar dari rumah sakit, aku baru bisa ngeluyur ketemu teman-teman. Ke Kanisius dan mampir ke kantorku yang lama. Banyak dapat cerita plus wawasan. Hmmm...

Akhirnya, setelah seminggu lebih di Jogja, aku pun balik ke Jakarta. Saat itu, suamiku berencana menyekolahkan komputer kami, alias menginstall ulang. Wah, ternyata ribet juga! Dan setelah melewati masa-masa disconnected, hari ini aku kembali muncul ke dunia maya. Nanti ya aku cerita-cerita lagi. Hehehe!

*foto rumah Jogjaku itu kuambil pada pagi hari 17 April '09, sebelum berangkat kembali ke Jakarta. Harap maklum kalau tidak jelas, wong fotografer amatiran.

Tuesday, April 07, 2009

Menolong dengan Tulisan

Beberapa waktu yang lalu, aku dikirimi beberapa tulisan oleh temanku. Akhir-akhir ini dia memang rajin menulis, dan karena itu dia pengin minta komentarku atas tulisan-tulisan yang dibuatnya. Sebagian besar tulisannya berupa hasil permenungannya. Ada yang tentang refleksinya saat berdoa, pengalaman hidupnya di dalam komunitas, teman-temannya, dan masih banyak lagi. Aku sih senang-senang saja membaca tulisannya. Dan memang ada beberapa tulisannya yang rasanya pas betul dengan hatiku. Pas membaca tuh rasanya mak ... nyeeesss. Adem. Tentrem.

Iseng-iseng aku bertanya kepadanya, "Apa alasanmu menulis?" Dia menjawab, "Menurutku dengan menulis, aku bisa menolong orang lain."

"Menolong orang lain?"
"Iya, dengan menulis, aku bisa membagikan pengalaman rohaniku. Dan aku pikir, aku bisa menolong orang lain untuk bisa bertumbuh secara rohani."

Wah, bahasanya itu lo! Harap maklum, temanku ini seorang suster. Jadi, yang dia tuliskan dan jawabannya adalah seputar kehidupan rohaninya. Tapi jika memang itu salah satu tujuannya menulis, setidaknya aku sudah "merasakan bantuannya" saat membaca beberapa tulisannya. Dan jujur saja, jawaban temanku itu terngiang-ngiang saat aku mulai membuat tulisan. Rasanya indah sekali ya jika kita bisa menolong orang lain dengan tulisan-tulisan yang kita buat.

Friday, April 03, 2009


Kangen (Antara Mbah Kung dan Sampah)


Entah kenapa kok tiba-tiba aku kangen pada mendiang kakekku (ayah dari ibuku)--Mbah Kung.
Dalam ingatanku, Mbah Kung adalah orang yang sangat rapi. Agak mengherankan karena biasanya laki-laki kan agak ceroboh dan tidak rapi (hmmm ... kaya siapa ya?). Tapi Mbah Kung tidak. Hal ini bisa dilihat dari deretan buku yang tertata rapi di raknya. Rapiiii banget. Tak ada satu pun buku yang tercecer. Setiap kali mengambil buku, dia selalu mengembalikannya lagi dengan tetap menjaga kerapian.

Kekangenanku ini biasanya muncul saat aku membuang sampah. Aneh ya? Sebenarnya tak terlalu aneh jika kalian mengenal Mbah Kung. Zaman aku masih SD--di mana waktu itu global warming masih belum banyak dibicarakan orang--Mbah Kung sudah memilah sampah. Dan daun-daun yang rontok di halaman rumahnya dikumpulkan di sebuah lubang, lalu dibuat pupuk. Bahkan cangkang telur pun dipakai buat pupuk oleh Mbah Kung. Jadi, cangkang telur itu dihancurkan dan ditaburkan begitu saja di pot-pot bunga yang berjajar rapi di serambi depan. Aku tak tahu, apakah tanaman di halaman rumah Mbah Kung itu subur-subur karena pupuk buatannya sendiri atau karena memang "dicintai". Maklum, Mbah Kung itu bisa berjam-jam mengurus tanaman. Bisa dari pagi sampai siang. Trus tidur siang sebentar, sorenya melanjutkan lagi mengurus tanaman. Bagaimana nggak subur tanamannya? Wong ditunggui dan dirawat tiap hari. Seingatku tak pernah kulihat rumput liar yang sempat tumbuh di halaman rumahnya.

Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Mbah Kung jika saat ini Mbah Kung tinggal bersamaku. Rumah yang kutempati ini bisa dibilang tak punya halaman. Ada sih, tapi cuma kira-kira 1,5 meter. Itu pun sudah dipasangi keramik. Jadi, sama sekali tak ada tanah.

Setiap kali membuang sampah, aku kadang merasa agak "sedih". (Aku sebenarnya bingung, apakah kata "sedih" itu tepat untuk menggambarkan perasaanku. Yang jelas sih rasanya gimanaa gitu. Nggak puas, nggak lega, merasa bersalah, campur aduk lah!) Walaupun sudah kupilah sampahnya, aku sebenarnya merindukan halaman yang cukup luas, yang tidak dibeton atau dikeramik. Aku ingin mengikuti jejak Mbah Kung yang bisa membuat pupuk sendiri di pojok halamannya. Memang di depan rumah aku punya komposter, tetapi kok rasanya lebih enak kalau punya tanah sendiri ya? Jadi bisa kubuat lubang pembuangan sampah, dan sampah-sampah organik itu bisa terurai dengan lebih alami--tentunya sampah yang tak bisa busuk tidak ikut dicemplungkan di situ.

Rasanya aku pengen bercakap dengan Mbah Kung. Aku pengin tahu bagaimana solusinya dalam mengolah sampah jika Mbah Kung harus tinggal di Jakarta, di rumah yang tak berhalaman. "Niki pripun, Mbah?"

*foto diambil dari http://hartonok-fam.blogspot.com/

Wednesday, April 01, 2009

Apakah Sudah Sebegitu Beratnya?

Kemarin pas turun dari bus Trans Jakarta, mau tak mau aku mesti mendesakkan tubuhku di antara orang-orang yang berjubel di pintu halte. Agak gemetar juga sih, wong aku mesti gerak cepat dan jangan sampai terjatuh. Batas antara pintu bus dan pintu halte lumayan lebar dan tinggi. Dan bayangkan, begitu aku harus melompat ke halte, hampir-hampir tak ada ruang untuk menjejakkan kaki. Deretan orang begitu berjubel dan hampir tak ada celah. Orang-orang yang bergerombol di pintu halte sama sekali tak memberi jalan. Mereka tetap berada di posisi semula walaupun aku dan seorang temanku jelas-jelas butuh jalan.

Dan hup! Aku melompat dengan sangat hati-hati. Mau tak mau kuselipkan tubuhku di antara gerombolan orang-orang itu. Sedikit kutabrak, karena aku butuh jalan. Pilihannya adalah jatuh terperosok atau menabrak mereka.

Aku akhirnya selamat bisa keluar dari halte. Leganyaaa ....

Tapi satu hal yang aku herankan dari kejadian itu adalah, apakah tekanan hidup di kota ini begitu berat ya, sampai-sampai orang-orang di sini tak mau memberi jalan sedikiiit saja. Bergeser pun tidak! Sepertinya kok yang dipikir hanya kepentingan mereka sendiri, ya?