Tuesday, March 31, 2009

Mau Menulis Apa?

Pernah nggak pas kita pengin nulis, kita masih saja bertanya-tanya, "Mau nulis apa ya?" Mungkin pernah, mungkin sering, mungkin jarang. Kalau aku sih kadang-kadang bertanya begitu dalam hati. Aneh ya? Pengin nulis, tapi masih bingung mau nulis apa. Rasanya seperti ingin membuat kue, tapi tak tahu kue apa yang mau dibuat.

Kupikir-pikir, untuk menulis kita perlu semacam "bahan baku". Apa itu? Yang jelas sih, ide. Menurutku ide adalah "barang berharga" alias bahan baku utama. Ide itu biarpun hanya satu kalimat, harganya mahal. Suatu kali aku pernah menyaksikan acara di televisi yang mengumumkan bahwa PH acara tersebut menerima sumbangan ide cerita. Buat seorang penulis (apalagi penulis profesional--alias hidupnya ditopang oleh hasil tulisannya), ide tak akan dihambur-hamburkan begitu saja. Apalagi mau dibagikan gratisan. Bisa saja dia membagikan ide, tapi tentu sebagian kecil saja.

Nah, di mana kita bisa mendapatkan ide? Wah, macam-macam. Dari pengalamanku sendiri, ide itu kudapat saat sedang membaca buku, di sela-sela obrolan dengan teman, saat melamun sendirian. Sebenarnya tidak benar-benar melamun, tetapi semacam mengamati: orang yang berpapasan dengan kita, anjing yang sedang duduk santai di halaman orang, cover sebuah majalah/buku, dll. Macam-macam deh. Ide itu ibarat makhluk yang beterbangan di sekitar kita, dan kita mesti pintar-pintar menangkapnya. Karena itu, biasanya di seminar-seminar penulisan, kita biasanya disarankan untuk membawa buku catatan kecil dan bolpen, sehingga bisa langsung menuliskan ide begitu mendapatkannya. Jadi, begitu sampai rumah ide itu bisa dituangkan dalam tulisan yang lebih panjang.

Salah satu hal penting yang mengimbangi kegiatan menulis adalah membaca. Sepertinya mustahil deh, orang bisa menghasilkan tulisan yang bermutu tanpa pernah membaca bacaan yang bermutu. Kedua hal itu berjalan beriringan.

Nah, setelah mendapat ide dan banyak membaca, biasanya mau tak mau aku merasa "kebelet" menulis, eh ... lebih tepatnya mengetik di komputer ding! :) Bagaimana dengan kalian?

Sunday, March 29, 2009


Tua di Jalan




Hari Kamis kemarin, aku dan suamiku berkunjung ke rumah omku yang di Bekasi. Mumpung tanggal merah dan kami punya waktu yang cukup longgar. Lagi pula, dengan ada kereta ke Bekasi, perjalanan tak butuh waktu lama. Cuma 15 menit. Sungguh, kereta api (KRL) memang terbukti menghemat waktu.

Sesampainya di sana, aku bertemu dengan para sepupuku yang rasanya kok sudah tambah besar saja ya? Seingatku, mereka dulu masih SD lo. E ... lha kok sekarang sudah kuliah? Pas makan bersama, aku mengobrol dengan Dita, adik sepupuku yang baru masuk kuliah.

"Sekarang kuliah di mana, Dit?"
Dia kemudian menyebutkan sebuah universitas yang lumayan elit di daerah Grogol. Aku langsung teringat perjalananku ke Grogol dengan seorang temanku. Rasanya, rumahku yang di Jakarta Timur dengan Grogol itu ibarat perjalanan dari Sabang sampai Merauke. Hehehe, berlebihan ya? Pokoknya jauuuuh bangeeet! Padahal rumah omku itu kan di Bekasi, lebih timur lagi dari rumahku. Biuh! Tak terbayangkan berapa lama perjalanan untuk ke sana. Belum lagi kalau kena macet dan terpapar polusi; capeknya kayak apa ya?

"Berapa lama perjalanan ke sana?" tanyaku lagi.
"Dua setengah jam," katanya enteng.

Ya ampun! Dua setengah jam? Itu ibarat perjalanan dari Madiun ke Solo dengan naik kendaraan umum. Aku membayangkan, seandainya dulu aku nglaju dari Madiun ke Solo tiap hari untuk kuliah, bisa capek lahir batin deh! Dan mana sempet belajar? Harus diakui, stamina sepupuku itu luar biasa. Tepuk tangan deh buat Dita.

Dari obrolan singkat itu, aku berpikir bahwa Jakarta ini sangat tidak efisien dalam hal waktu. Aku yakin, tak hanya sepupuku yang bolak-balik Bekasi-Grogol dan menghabiskan waktu total 5 jam untuk perjalanan. Lima jam, Sodara-sodara! Dan waktu sebanyak itu hanya digunakan untuk duduk di dalam kendaraan. Mungkin bisa diisi dengan membaca buku, makan, menelepon (itu kalau dia nggak nyupir sendiri), dandan (?). Mungkin sesekali dia mengerjakan tugas atau tidur. Tapi yang jelas di dalam mobil (apa lagi kendaraan umum) tak bisa disambi mandi atau masak kan? Hihihi.

Coba hitung, kalau sebulan dia masuk sampai hari Jumat, berarti dia menghabiskan waktu di jalan: 5 jam x 20 = 100 jam = kurang lebih 4 hari duduk manis di dalam kendaraan. Biyuh ... biyuh! Hal seperti itu membuatku makin teguh untuk tidak kerja kantoran di Jakarta. Benar-benar bisa tua di jalan.

Sunday, March 22, 2009

Mimpi Jakarta

Aku tak tahu, dari sekian banyak orang di Indonesia, berapa banyak ya yang punya mimpi Jakarta? Mimpi Jakarta apa itu? Mimpi untuk tinggal di Jakarta? Tidak selalu begitu. Kurang lebih keinginan untuk bergaya ala orang-orang di kota besar: bisa bekerja di kantor yang ber-AC, kalau sih kantornya yang keren punya, di gedung-gedung yang tinggi, jadi kalau pas pergi sama saudara-saudara sekampung bisa ngomong begini: "Itu tuh kantorku" sambil menunjuk gedung bagus dan mereka akan melongo takjub; punya mobil bagus seperti iklan-iklan di televisi, punya rumah besar dan buagus di kompleks perumahan mewah, kalau belanja tak perlu mikirin duit karena uang tinggal metik kayak daun, kalau malam minggu bisa hangout di kafe atau mal, dan masih buanyak lagi!

Apa salahnya punya mimpi seperti itu?

Ya, setiap orang berhak punya mimpi--tak terkecuali mimpi yang aku labeli dengan "mimpi Jakarta" itu. Tapi bagaimana jika sebagian besar orang punya mimpi seperti itu? Mungkin nggak sih jika setiap kota kecil akhirnya disulap jadi Jakarta kecil? (Duh, mimpi buruk deh!)

Kota kelahiranku, Madiun, adalah sebuah kota kecil yang cukup nyaman menurutku. Tapi belakangan ini aku menjadi terbengong-bengong saat melihat ada beberapa toko kelontong besar mulai bermunculan di sana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, di kota sekecil Madiun sudah ada Giant, Carrefour, Matahari, Sri Ratu. Dan yang mengenaskan bagiku, pasar besar Madiun sudah dua kali terbakar dalam selang waktu kurang dari 5 tahun. Orang-orang kecil yang biasa kami temui di dalam pasar mau tak mau tergusur. Beberapa pedagang akhirnya berjualan di rumahnya masing-masing. Tapi coba hitung berapa kerugian yang harus diderita? Belum lagi mereka harus bersaing dengan toko-toko kelontong superbesar itu. Pasti tidak gampang dong.

Tapi balik lagi ke mimpi Jakarta tadi, aku pikir salah satu alasan Jakarta menjadi sangat padat penduduk ini adalah karena mimpi Jakarta itu tadi. Selain itu pemerintah juga setengah hati untuk benar-benar membangun daerah lain. Kabarnya 80% uang (Indonesia) beredar di Jakarta. Akibatnya ya roda ekonomi muternya ya di situ-situ saja. Trus ... trus, orang-orang muda yang potensial akhirnya tersedot ke Jakarta. (Dan tentunya tak mudah menyuruh pulang orang-orang yang sudah sekian puluh tahun bekerja di Jakarta.) Tentu mereka yang hijrah ke Jakarta tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Lha wong cari kerja di daerah lain sulitnya minta ampun kok! Lihat saja lowongan pekerjaan yang dimuat KOMPAS tiap hari Sabtu dan Minggu, rasanya 70% adalah kebutuhan kerja di Jakarta.

Rasanya belum banyak orang muda yang berani untuk membangun daerah kelahirannya sendiri. Berkarya di kota kecil memang butuh kegilaan sendiri. Itu berarti melawan arus. Aku jadi ingat kata-kata tanteku, "Masmu kan tidak tahan banting tinggal di Jakarta." Harap tahu saja, kakakku adalah orang yang memupuskan mimpi Jakartanya. Dia pulang dan akhirnya menetap di Jogja karena tak tahan bekerja di Jakarta. Dulu dia tiap hari bekerja dari pagi sampai malam, tapi gajinya tak seberapa. Tanteku menganggap dia tak tahan banting. Mungkin ada benarnya kata-kata Tante, tapi bukankah bekerja di luar Jakarta juga punya tantangan yang tidak kecil? Dan bagaimana jika setiap orang memaksakan diri untuk bertahan di Jakarta? Bagaimana nggak penuh kota ini?

Aku pikir, daerah lain berhak mendapatkan sumber daya manusia yang bagus. Hanya saja mungkin orang-orang "bagus" itu tak mendapat wadah untuk menyalurkan kemampuan mereka jika tetap bertahan di daerahnya. Sebagian alasan orang-orang yang akhirnya hijrah ke Jakarta adalah karena mereka ingin meningkatkan kemampuan, ingin maju, ingin berkembang, ingin semakin banyak pendapatannya, dan sebagainya. Tapi apa iya sih, semua itu harus di Jakarta? Kalau aku sih lebih suka bekerja dan menetap di kota kecil, lo; yang masih lapang dan polusinya tidak membuat sakit. Mungkin duitnya tak sebanyak jika di Jakarta, tapi buat apa uang banyak jika kualitas hidup buruk?

Thursday, March 19, 2009

Bahasa Indonesia, Pentingkah?


Dulu, salah satu pelajaran sekolah yang nilaiku selalu bagus adalah Bahasa Indonesia. Tentu saja hal itu bukan suatu hal yang membanggakan. Biasa. Tak ada yang istimewa. Toh banyak anak juga nilainya bagus--setidaknya sedikit yang nilainya di bawah 7.

Hal itu berbeda dengan mereka yang selalu dapat nilai di atas 8 untuk matematika. Begitu nilai 8, 9, 10 tertera di lembar ujian Matematika, anak itu langsung mendapat label "si anak pintar". Lalu mulai deh, dia mendapat kepercayaan macam-macam dari guru, entah itu jadi ketua kelas, wakil lomba cerdas cermat di kabupaten, dan lain-lain.

Tapi bagi anak yang nilai bahasa Indonesianya bagus? Yaaa, biasa-biasa saja lah. Tak akan mendapat label "anak yang istimewa". Tapi memang rasanya kebangetan kalau nilai bahasa Indonesia jelek. Paling-paling kita hanya diminta untuk menulis contoh kalimat dengan awalan me-, ke-, di-, dll. Atau kita diminta untuk menjelaskan arti peribahasa, menghafal macam-macam angkatan kesustraan di Indonesia plus nama-nama pujangga. Dan bagaimana rasanya belajar bahasa Indonesia? Ah, menjemukan!

Walaupun dapat nilai bagus, aku tidak mengganggap penting (pelajaran) bahasa Indonesia. (Kalau tidak penting, ngapain masuk jadi pelajaran sekolah ya? Hi hi hi.) Aku tidak merasa ada kaitan yang sangat penting antara pelajaran bahasa Indonesia dengan hidup sehari-hari. Toh aku mengobrol dengan teman pakai bahasa Jawa atau bahasa Indonesia yang tidak EYD banget, malah sepertinya teman-teman lebih senang menggunakan bahasa Indonesia gaul ala anak Jakarta. Jadi, aku tak tahu apa gunanya belajar peribahasa, misalnya. Dalam hidup sehari-hari tidak dipakai, kok. Kan tidak mungkin aku banyak menyisipkan banyak peribahasa saat mengobrol dengan teman-teman. Bisa diketawain tujuh hari tujuh malam!

Setelah berkutat dengan naskah, buku, dan dunia tulis-menulis, aku jadi tahu bahwa bahasa Indonesia itu penting dan rupanya selama ini bahasa Indonesia tidak terlalu mendapat tempat di masyarakat. Orang lebih suka belajar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sementara mereka belum menguasai betul bahasa Indonesia. Paling terasa adalah saat membandingkan kamus bahasa Indonesia dengan kamus bahasa Inggris. Dalam kamus bahasa Inggris (Inggris-Inggris), satu kata biasanya akan dijelaskan artinya, tidak hanya diberikan sinonimnya. Selain itu di kamus Inggris-Inggris, ada akar katanya juga, kata itu biasa digunakan pada konteks apa, tahun kapan, dan tak jarang jika kata itu menyangkut benda, ada gambarnya. Pokoknya komplet!

Mungkin karena bahasa Indonesia tidak dianggap penting, tidak terlalu banyak naskah dari penulis kita yang sudah bagus penyampaian idenya. Itu dari pengalamanku lo. Entah ya kalau di penerbit lain. Pernah aku membaca tulisan seorang dosen yang bahasanya belepotan, sampai aku bingung, "Dia mau nulis apa sih?"

Aku pikir, kita masih kurang menggali bahasa Indonesia saat di sekolah. Kurang menarik pula penyampaiannya. Sampai sekarang, rasanya aku baru membaca Sitti Nurbaya untuk buku sastra Indonesia zaman lalu. Jangan tanya deh buku-buku yang lain. Pas SD saja aku lebih suka baca Lupus, kok. He he he. Padahal tuh kalau kita melongok amazon [dot] com, kita bisa mendapatkan buku "Pride and Prejudice" untuk anak usia 4-8 tahun! Di Indonesia? Rasanya aku belum menemukan buku-buku karya sastra karya pujangga kita yang disederhanakan sehingga bisa diperkenalkan untuk anak-anak. Buku-buku yang ada sekarang pun lebih banyak buku hiburan dengan bahasa gaul. Sebenarnya boleh-boleh saja ada buku-buku semacam itu, tapi rasanya kurang bagus deh kalau itu mendominasi.

Kita lupa bahwa kita memiliki Armyn Pane, H.B. Jasin, dan para pujangga besar lainnya.Padahal dari mereka kita bisa belajar banyak lo. Kita bisa belajar sejarah bangsa kita, perkembangannya, cara berpikir masyarakat, dll. Trus, kalau kita belajar bahasa Inggris saja bisa menarik karena banyak sekali permainan yang bisa digunakan, tentunya belajar bahasa Indonesia juga bisa dong. Lagi pula, belajar bahasa itu menarik sekali. Ada banyak sisi yang bisa memperkaya kita.

Friday, March 13, 2009


Nostalgia



Tak terasa sudah setahun aku tidak bekerja kantoran. Ya setahun. Rasanya cepat juga. Dulu, kalau pulang kerja, aku biasanya tidak langsung pulang. Entah kenapa, aku suka berlama-lama di kantor. Tapi itu pun kalau masih ada teman. Kalau di ruanganku sudah sepi, ya aku pulang. Tapi kok ya biasanya ada saja yang masih tinggal di kantor. Dulu paling cepat aku sampai rumah pukul enam petang. Setelah jam bubaran kantor aku biasanya berlama-lama berselancar di internet, setelah itu kadang ngeluyur belanja, main ke kos teman, atau makan malam bersama temanku, Tesa.

Teman-teman seruanganku dulu anak-anak muda semua. Usia kami sebaya. Dan yang menikah baru Kak Tina, Susan, dan Aat. Yang lain sih, masih single. Ada yang pacarnya jauh (kaya aku dan Tesa dulu), ada yang nggak punya pacar, ada yang punya pacar tapi nggak jelas (hehehe, siapa ya?). Ada yang kalau bubaran kantor punya seambreg kegiatan, ada yang cuma kaya aku dan Tesa--yang isinya makan terus :D, ada yang langsung kencan sama suami atau istrinya.

Waktu itu aku bekerja rasanya tanpa beban. Belakangan, aku merasa ke kantor adalah untuk main--bersenang-senang, mengobrol dengan teman-teman dan bercanda (trus kapan kerjanya ya?). Dan lagi kami ke kantor biasanya tidak mengenakan baju seragam yang formal. Bebas rapi saja patokannya. Aku saja masih pakai ransel kok. Hampir tak ada yang dandan menor, sampai ada sekretaris.

Saat ini, kenangan yang melekat di benakku adalah kenangan saat kami biasa mengobrol di sela-sela pekerjaan. Ada yang curhat soal pacarnya yang tak pernah SMS dan menelepon, soal kegiatan di gereja, soal teman kos yang punya kebiasaan beda-beda, soal ganjelan di sana-sini. Macam-macam deh. Namanya juga hidup dan berkarya bersama, iya kan?

Hari pertama aku keluar dari pekerjaan, aku merasa agak aneh. Bayangkan selama hampir tujuh tahun aku bangun pagi tak boleh lewat dari jam 6, dan sekarang aku bisa bangun semaunya. Tak perlu ngebut naik motor menyusuri Jalan Kaliurang karena sudah hampir pukul 8.00. Tak perlu lagi risau melihat tinta merah di kartu absen karena terlambat satu detik saja. Tak perlu lagi bingung saat di gantungan baju ternyata tak ada baju yang sudah disetrika. Tak perlu sarapan buru-buru. Ah, alangkah nyamannya.

Ketika aku keluar kerja, aku pun membiasakan bekerja sendiri. Tak ada teman bicara kecuali membiarkan radio terus menyala. Awalnya aku kangen juga mengobrol dengan teman-teman di kantor. Jadi waktu itu, aku masih sering main ke kantor.

Tapi lama-lama aku sadar aku tidak lagi bagian dari mereka. Duniaku sudah agak berbeda dari mereka. Mereka pun punya dunia yang berbeda. Aku kadang tak bisa mengikuti canda mereka, karena aku tidak mengikuti keseharian mereka lagi. Ada kejadian-kejadian lucu yang terlewat dariku. Kadang aku merasa seperti berdiri dari balik pintu kaca dan aku tak bisa lagi masuk ke dalamnya. Aku tak tahu apa yang mereka tertawakan dan sepertinya tak ada cerita yang cukup menarik untuk kubagikan bersama mereka. Apa menariknya cerita keseharianku di atas loteng mengerjakan naskah dengan ditemani sebuah radio, suara ternak milik tetangga, dan desau rumpun bambu? Dan sekarang setelah di Jakarta, apakah cerita tentang pedagang yang bersliweran di depan rumahku cukup indah bagi mereka?

Aku juga tak lagi terlibat dengan rencana buku-buku yang harus terbit--padahal hal itu biasanya sudah menjadi bagian dari pekerjaanku sehari-hari. Sebagai editor dan penerjemah lepas, aku cuma terima naskah dari mereka dan kukerjakan di rumah. Mereka sudah terima jadi. Paling-paling aku memberi laporan saja bahwa naskah ini kekurangan dan kelebihannya begini ... begitu. Atau aku memberitahu kepada mereka bahwa penerjemah ini kurang teliti, ketikannya masih belepotan, dan sebagainya.

Dulu aku senang sekali ketika datang kiriman buku-buku dari penerbit luar negeri. Bau kertas daur ulang yang mereka pakai seolah mengajakku untuk semakin banyak menulis dan tak perlu lagi cemberut ketika membaca tulisan yang kurang menarik. Buku-buku baru itu bagaikan telaga yang menyegarkan. Aku tak pernah bosan menyusuri halaman-halaman mereka, dan berharap suatu saat kami bisa menerbitkan buku sebagus itu--atau suatu saat buku tulisanku juga bisa menjadi telaga yang menyejukkan orang lain.

Jam dan hari sudah terjalin menjadi kumpulan waktu bernama satu tahun. Sekarang aku menikmati keseharianku menjadi pekerja lepas--suatu hal yang aku cita-citakan sejak beberapa tahun yang lalu. Suka duka pasti ada. Kini aku bisa merasakan betul apa artinya kebebasan untuk tidak terlalu terikat pada satu instansi, apa artinya tidak hanya bergantung pada satu pemberi honor, apa artinya honor yang terlambat dibayarkan, dan lain-lain. Dulu aku tak terlalu menghargai apa arti sapaan terhadap orang-orang yang bekerja sama dengan kami, entah editor, penerjemah, atau penulis. Tapi aku kini mengerti bahwa sapaan pun memiliki makna yang dalam. Aku ingat, dulu aku hanya mengontak para freelancer hanya saat ada buku yang harus dikerjakan. Ah, betapa sebenarnya aku bisa melakukan yang lebih dari itu. Dan jika seorang freelancer tidak kami pakai lagi, betapa sebenarnya kami kehilangan satu mutiara. Mungkin pekerjaan mereka kurang bagus, tetapi sebagai pribadi, mereka bagaikan sumur yang tak habis ditimba. Relasi itu memudar seiring dengan buku atau naskah yang tak lagi diberikan. Betapa sebenarnya berkawan dan menjalin relasi yang hangat dengan para pekerja lepas--meskipun sudah tak lagi dipakai--bukan hal yang tabu.

Sekarang, setahun sudah berlalu. Ada kerinduan yang dalam untuk melihat penerbitan tempat kerjaku dulu menjadi lebih baik--buku-buku yang diterbitkan semakin berkualitas, semakin banyak buku dari penulis lokal, menjadi penerbit yang lebih percaya diri dan benar-benar bisa menjadi cahaya bagi masyarakat. Dan kiranya doa yang tiap pagi dan sore mereka panjatkan benar-benar menjadi jiwa dari seluruh pelayanan yang mereka lakukan, tak hanya sekadar rutinitas yang kadang aku pertanyakan maknanya terhadap masing-masing pribadi.

Kini aku akan meletakkan masa-masa kerjaku yang dulu dalam sebuah bingkai kenangan. Sesekali akan kupandang. Sesekali mungkin masih ada keinginan untuk ikut tertawa lagi bersama mereka. Tapi baiklah jika aku tak berlama-lama memandanginya. Sudah waktunya bagiku untuk melanjutkan langkah dan berkemas meraih harapan dan cita-cita.

*Kalender di atas adalah kalender buatan Lena, salah satu teman yg sama-sama memilih mencari sesuap nasi di tempat lain. Kami manis-manis kan? hehehe

Wednesday, March 11, 2009

Zero Mistake

Kalau pas naik kereta api, aku selalu teringat pada wejangan bos pertamaku saat mengedit buku. Dia pengen buku yang terbit sama sekali tak ada kesalahan alias zero mistake. "Target kita adalah zero mistake," begitu katanya. Dan karena itu, aku selalu lamaaaa sekali kalau mengedit buku. Proofreading juga lamaaaa banget. Sebisa mungkin jangan sampai ada salah ketik satu huruf sekalipun!

Dan ternyata zero mistake sulit sekali. Bener. Susah banget. Padahal mataku sudah kujembreng lebar-lebar (hehehe, gimana sih bentuknya mata yang dijembreng? serem amat), tetep saja ada yang salah. Kadang titiknya kelebihan. Kadang hurufnya kurang. Yah, walaupun dari seluruh buku setebal 200 halaman paling cuma satu kesalahan, tetap saja itu nggak zero mistake, kan? Dan kalau buku itu sudah dicetak, penyesalan karena kesalahan yang seuprit itu dalam banget.

Lalu apa hubungan antara naik kereta api dengan zero mistake?

Begini, aku mikir, bekerja di perkereta apian itu mestinya nggak boleh ada kesalahan. Misalnya, kalau ada petugas yang kelupaan nutup palang kereta, kan nyawa orang bisa melayang. Bagi seorang petugas yang kerjaannya nongkrongin palang pintu kereta, pekerjaan itu sama sekali tidak boleh ada kesalahan kan?

Aku pernah membaca artikel di majalah FAMILIA (majalah keluarganya KANISIUS yang sudah nggak terbit lagi) dan koran hari mingguan (aku lupa apa namanya). Di situ ada cerita tentang petugas kereta api yang tugasnya ngencengin mur bautnya rel kereta. Tiap malam dia menyusuri rel kereta sejauh 5km dan mengencangkan mur-mur yang sudah kendor. Tak pernah absen. Tak pernah telat. Aku bilang, orang itu hebat lo. Lha wong gaji nggak seberapa, tugasnya berat, nggak pernah absen lagi. Kalau salah sedikit, kan bisa parah akibatnya.

Kadang kalau kubandingkan dengan pekerjaanku, pekerjaan bapak-bapak itu jauh lebih mulia. Dan tuntutan mereka untuk zero mistake jauh lebih besar. Taruhannya nyawa.

Tapi toh aku tetep ingin sebisa mungkin naskah yang aku kerjakan zero mistake... biarpun taruhannya bukan nyawa.

(Btw, aku mau nulis apa sih sebenarnya?)

Tuesday, March 10, 2009

Takut Komitmen?


Kemarin aku mendapat email dari seorang teman yang ujung-unjungnya dia mengatakan bahwa dia takut berkomitmen dengan pacarnya sekarang. Sebenarnya agak membingungkan juga, soalnya beberapa waktu lalu dia mengatakan akan menikah. Tapi kok masih takut untuk berkomitmen ya?

Memang sih, menikah adalah keputusan yang besar. Setelah kita mengatakan "Saya bersedia" atau "Yes, I do", tak ada jalan untuk kembali. Itu menurutku lo. Menikah ya sekali saja. Nggak tahu ya kalau dari awal sudah niat kawin lagi? Nah, saat itulah cinta membutuhkan komitmen (halah) dan tidak hanya menggombal, "Kaulah segalanya. Gunung kan kuseberangi, laut kan kudaki" kebalik ya? Orang kalau lagi mabuk kan ngomongnya suka kebalik-balik. Hehehe. Ah, pokoknya begitu deh. Gombal abis!

Teman saya itu mengatakan teman-temannya sudah membesarkan hatinya dan mendorong-dorong "Menikah saja, deh!" Dia menanyakan bagaimana caranya supaya tidak takut untuk berkomitmen.

Nah jadi, bagaimana caranya?

Menurutku yang perlu ditanyakan adalah "Mengapa menikah?" Tidak ada undang-undang yang mengatakan bahwa setiap orang harus menikah. Tidak ada yang mengharuskan. Kalau dia mau melajang terus, ya boleh-boleh saja--asal tidak mengganggu kepentingan umum kayak kasusnya Ryan begitu. Kalau mau menikah, ya dia sendiri secara sadar memang mau menikah dengan kekasih pilihan hatinya. Maksudnya, menikah memang betul-betul pilihannya. Barangkali, teman dan orang-orang terdekat sudah mendorong-dorong. Tapi masak hanya karena sudah didorong-dorong orang lain sih? Nggak seru ah! Menurutku menikah itu tidak karena semua teman sudah menikah, sudah dianggap sudah cukup umur untuk menikah, dll. Mesti ada niat dari diri sendiri (dan pacarnya tentu saja, dong!).

Kalau memang dia cuma pengen TTM saja, atau pacaran tanpa berniat menikahi perempuan itu, mbok lebih baik ngomong saja terus-terang di awal kepada pacarnya itu, "Kamu mau nggak kita pacaran tapi tidak usah menikah. Aku takut untuk menikah dan berkomiten nih." Nah, soal ceweknya nanti mencak-mencak, ya itu resiko yang harus dia tanggung. Jangan sudah pacaran lamaaaa tapi ujung-ujungnya si cewek "digantung" alias nggak jelas mau dinikahi atau tidak. Kalau si cewek dari awal pacaran sudah pengen menikah dalam waktu 1-2 tahun, tapi ternyata setelah lebih dari 4 tahun tak ada tanda-tanda akan dinikahi, kan bisa bikin stres? Apalagi kalau sudah sama-sama berumur, sudah mapan semua. Tapi rasanya memang keberanian untuk berkomiten tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat kemapanan seseorang. Ada lo, temanku yang belum lulus kuliah berani menghamili pacarnya supaya boleh menikah. Memang itu konyol sih. Tapi kurasa dia lebih berani berkomitmen lo. Tanggung jawab.

Tapi aku sendiri tak tahu kenapa temanku itu takut berkomitmen. Rasanya kalau dia sudah enjoy dengan dirinya sendiri, alias dia nggak bermasalah, menikah dan berkomitmen itu wajar kok. Kalau yang pernah aku baca-baca, seseorang bisa untuk takut berkomitmen karena punya masalah keluarga. Misalnya, dia pernah melihat orang tuanya bercerai. Nah, kalau kaya gitu, mesti diberesi dulu masalahnya. Bagaimanapun, jika masalah itu belum dibereskan sebelum menikah, justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar dan ruwet lagi.

Kawan, menikah memang butuh kedewasaan.... (hihihi, ngomongnya sok dewasa banget sih! mentang-mentang udah nikah.)

Sunday, March 08, 2009

Review Seputar Java Jazz Festival 2009 (7/3/2009)

Minggu kemarin (7/3/2009), sejak pagi aku sudah membayangkan bahwa nanti sore sampai malam aku akan memanjakan mata dan telingaku untuk menikmati musik-musik jazz yang membuatku takjub. Wah, bakal tertakjub-takjub nih! Dan siang itu, pukul 11.30 aku dan suami meluncur ke JHCC untuk datang ke Java Jazz Festival 2009.

Begitu menyusuri area Senayan, kami sudah disapa oleh beberapa bapak-bapak setengah baya, "Tiketnya, Bos." Kami menggeleng sambil memanis-maniskan muka. "Atau kelebihan tiket ya? Nanti saya bayar." Sekali lagi kami menggeleng dan terus melangkah. Ternyata sepanjang jalan itu banyak calo! Dan di serambi JHCC itu calo-calo itu menjajakan karcisnya. Bahkan mereka menjualnya di depan panitia lo. Rata-rata mereka mematok harga 500 ribu.

Akhirnya kami pun masuk pukul 14.00. Dan untuuuung banget, roti sobek plus air minum kami tidak disita. He he he. Makasih ya Mbak. Mungkin karena dua benda itu agak mojok di dalam tas. Atau mbaknya kasihan melihat tampangku yang ndeso ini? Ha ha ha! Entahlah. Dua benda itu pertolongan pertama kalau haus dan lapar je. Kalau beli di tempat pertunjukan kan mahal. Teh aja 10 ribu, nasi goreng 40 ribu. Huh!


Jadwal pertunjukan yang dijual

Memasuki ruangan, hidungku yang sensitif terhadap bau rokok ini sudah mulai mencium tanda-tanda kehadiran rokok di ruangan ber-AC itu. Para pengunjung belum banyak sih. Tapi di loby sudah ada penyanyi yang pentas. Tapi ya baru satu itu. Para penyanyi yang lain rupanya masih jam 3-an mulai manggungnya. Kami lalu datang ke bagian informasi untuk menanyakan jadwal pertunjukan. Dan ternyata, brosur yang selembar itu DIJUAL! Bukan, bukan bagian informasi yang menjualnya, tetapi AXIS yang sekalian jualan kartu perdana seharga 6 ribu. Dan ada pula majalah MUSIC yang diedarkan plus jadwal pertunjukan. Harganya? 20 ribu. Rupanya itu adalah kekecewaan tahap pertama. Brosur setengah halaman A4 saja kok dijual. Padahal dengan harga tiket Java Jazz yang cukup mahal, mestinya brosur semacam itu bisa dibagikan gratis. Walaupun awam di bidang cetak-mencetak, aku tahu semakin banyak brosur yang dicetak akan semakin murah. Apalagi ada sponsornya.


Pertunjukan yang kami tonton

Pertama-tama kami menonton pertunjukan Gamelan Shokbreker, pukul 15.00. Penonton tidak terlalu berjubel dan duduk lesehan. Wah, boleh juga nih. Rupanya itu musik gamelan bernuansa Sunda. Musiknya mantap. Pemain kendangnya jago. Gamelan Shokbreker adalah kolaborasi musik antara Patrick Shaw Iversen and Ismet Ruchimat (Norwegia dan Indonesia). Setelah dari situ kami menonton Jakarta Broadway Singers. Tapi sayang kami cuma kebagian buntutnya. Bagus sih. Dan gaya mereka yang centil-centil itu lumayan menghibur. Menjelang akhir pertunjukan tampil Barry Likumahua, anak Benny Likumahua. Wah, permainan basnya boleh juga.

Setelah dari situ, kami muter-muter lagi dan menunggu penampilan Tom Scott jam 6. Karena masih agak lama, kami niatnya mau ketemu teman yang nonton Slank. Tapi biuuuuh... aku nggak tahan dengan suaranya. Kenceeeeng banget. (Lah iya lah, namanya juga konser!). Tapi yang agak aneh, kok enggak ada kesan jazzy-nya ya? Lha ini mah, mending mereka konser di stadion terbuka saja. He he he.

Akhirnya kami duduk-duduk di lantai atas. Dan aku sempat mampir di toilet. Rupanya, dari tiga ruang toilet, cuma 1 yang bisa ditutup pintunya!

Setengah jam sebelum Tom Scott tampil kami sudah ngantri. Dan ampuuun, antriannya sangat tidak rapi. Tapi untung kami berdiri agak depan, jadi pas begitu pintu dibuka, langsung dapat duduk. Dan penampilan Tom Scott sangat prima! Jazz banget. Aduh, baru sekali ini menonton Tom Scott. Rasanya seperti terbius.

Karena mau nonton Tompi, kami terpaksa tidak selesai menonton Tom Scott. Dan aku menyesal, meninggalkan Tom Scott. Soalnya yang menonton Tompi berjubel buanget! Wah, padahal Tompi adalah salah 1 artis yang sudah kutunggu-tunggu. Sakin berjubelnya penonton, panitia pun kewalahan. Bahkan pas aku mencoba ikut berdesak-desakan, aku mendengar percakapan panitia: "Kalau sudah nggak muat, penontonnya distop dong, jangan boleh masuk!" Panitia rupanya tidak bisa memprediksi jumlah penonton yg membludak. (Alangkah bodohnya panitia! Tompi gitu loh! Masak nggak ngerti kalau fans-nya banyak?)

Selanjutnya, kami menonton Tohpati. Wah, sumpah! Ini keren abis. Dasarnya aku suka banget sama permainan gitar. Apalagi baru kali ini menyaksikan Tohpati tampil live. Permainan gitarnya tidak diragukan lagi deh. Bikin hatiku ikut menari-nari. (Dan kenapa ya, setiap pemain gitar, terutama yang klasik, tuh tampak cakep di mataku? Hihihi.)

Terakhir kami menonton Ivan Lins. Yang terakhir ini memang dewanya penyanyi jazz. Sepertinya aku sudah tak sanggup berkata-kata lagi saat menyaksikannya. Nyanyinya bagus buanget! Dan pas dia nyanyi dia memainkan alat musik kecil entah apa namanya, yg menyempurnakan penampilannya. Rasanya tidak ada kata yg cukup untuk menggambarkan penampilannya. Tema lagu-lagu yang dia bawakan juga tidak norak: tentang kampung halamannya, tentang pantai, dll. Bagus kan? Nggak kaya d' Massiv yang melolong-lolong karena patah hati. Cuih!


Kesan terhadap panitia

Para pemusik dan penyanyi yang kemarin kutonton memang bagus-bagus. Tapi aduh, kok rasanya aku sangat tidak puas dengan kerja panitianya ya? Begini, kemarin itu penonton membludak! Yang aku herankan, kenapa tiket terus dijual ya? Padahal mereka seharusnya tahu dong, berapa kapasitas ruangan. Masak sih nonton jazz mahal kok kayak nonton band biasa di stadion? Desek-desekan nggak karuan. Mau masuk ke ruangan saja dorongan-dorongan. Dulu pas nonton jazz di Jogja rapi banget. Penuh sih, tapi nggak desek-desekan.

Trus lagi, sebagian sound systemnya jelek! Yang aku heran, Tohpati dan Ivan Lins memakai ruangan yg sama. Tapi kenapa sound-nya Tohpati tidak sejernih Ivan Lins? Trus, panggung di loby, sama sekali tidak bagus soundnya. Ada 3 panggung lagi. Lha buat apa? Masak ketiganya mau dipakai? Mau denger bareng-bareng? Ya nggak bisa lah!

Selain itu, penonton masih suka buang sampah sembarangan! Padahal di bagian depan ada stand "ZERO WASTE". Zero Waste dari Hongkong! Yang paling parah sampah di dekat food hall. Segunung! Malu nggak sih pasang stand ZERO WASTE tapi sampahnya berceceran?

Yang paling parah adalah ROKOK DI MANA-MANA. Kupikir sopir angkutan umum dan orang-orang kecil saja yang nggak tahu aturan soal rokok. Orang-orang yang mampu beli tiket Java Jazz itu juga sangat tidak tahu aturan. Sudah tahu ruangan ber-AC, orang diperbolehkan merokok. Security dan polisi yang ada di situ tidak menindak para perokok yang tidak tahu aturan itu. Mereka seharusnya tahu dong, di ruangan ber-AC kan tidak boleh merokok. Dan orang-orang itu merokok seenaknya. Apakah warga Jakarta memang kesadarannya sangat rendah ya--termasuk aparat yg seharusnya bisa menindak mereka?

Yang terakhir, masak sih nonton jazz aku ditawarin beli asuransi, pasang indovision, kartu kredit, internet. Mbok yang lebih elegan dikit, napa sih? Jangan cuma cari untung dong ....

Wednesday, March 04, 2009

Pak Kantor Pajak, Bisakah Lebih Mudah Pelaporannya?

Tahun kemarin, waktu masih berstatus sebagai karyawan, urusan laporan pajak tidak menjadi masalah besar buatku karena sebagian besar sudah diurus oleh bagian HRD. Tapi sekarang beda. Karena aku seorang pekerja lepas, maka urusan laporan pajak, mesti mengurus sendiri. Dan ternyata, puyeng oi!

Di form yang harus kuisi, ada beberapa istilah yang tidak jelas bagiku. Yang paling depan saja deh, apa maksudnya form 1770 SS itu. Trus istilah PPh terutang, kredit pajak, dll. Wah embuh!

Kolom-kolom yang ada di situ agak memusingkan bagiku. Entah aku yang bodo, entah mereka yang kurang bisa membahasakannya dengan sederhana.

Yang membuatku heran, lha zaman komputer dan internet begini lo, kok laporan pajak nggak bisa online. Dan kita masih harus mengisi form dengan tulisan tangan atau mesin ketik. Menurut pemikiranku, akan jauh lebih mudah jika kita bisa mengisi laporan pajak via online. Rasanya pakai program excel bisa deh. Anggaplah seperti kalau kita sign up ke Yahoo! Kan gampang. Bahasanya nggak sulit, tinggal klik-klik di komputer, beres deh.

Lagi pula, mereka yang butuh, kok kita yang dibuat pusing ya?

Monday, March 02, 2009

Ayo Memasak!

Menurutku, salah satu keterampilan penting yang perlu dipunyai saat seseorang menikah adalah memasak. Kenapa? Kan banyak warung makanan? Tinggal beli saja. Lebih gampang.

Iya sih. Aku dulu juga begitu. Eit, itu jauh sebelum aku menikah lo. Tapi coba baca dulu ceritaku.

Waktu aku masih kecil, aku senang sekali jika disuruh bantu-bantu di dapur. Dan salah satu keahlianku dulu adalah menyiangi sayur yang akan dimasak. Hi hi hi! Keahlian yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi kadang kala ada jenis sayur yang tidak bisa asal potong saja. Labu siam misalnya. Getahnya banyak sekali, jadi setelah dibelah dua, kedua potongan labu itu perlu digesek-gesekkan dulu sehingga getahnya keluar.

Tapi rasanya aku cuma rajin bantu-bantu di dapur ketika masih kecil saja. Waktu aku sudah agak besar (sudah mulai sekolah), mulai tumbuh deh rasa malasnya. Kalau disuruh untuk menggoreng tempe atau tahu masih belum berani. Serem deh kayaknya. Suara yang mendesis saat tahu atau tempe dimasukkan ke dalam wajan membuatku takut. Selain itu sepertinya minyak yang di dalam wajan itu muncrat semua. Padahal sih sebenarnya kalau kita memasukkan dengan hati-hati, tak akan kecipratan minyak kok. Hanya karena aku sudah keder duluan, maka aku selalu menolak jika diminta menggoreng lauk.

Kalau diminta memasak sayur? Nah, itu dia! Aku tidak bisa. Ha ha ha! Pernah suatu kali, pas aku masih SMA, ibuku memintaku memasak sayur asem. "Mumpung kamu libur," begitu kata ibuku. Lha masalahnya, aku tidak tahu bumbu sayur asem itu apa saja. Aku cuma tahu, pakai asem. Tapi yang lain? Nggak tahu, deh. Tahu apa yang aku lakukan? Setelah ibuku berangkat ke kantor, aku langsung ke rumah temanku, Joanna, yang aku tahu pintar memasak. Aku rayu dia supaya mau ke rumahku dan memasak sayur asem. Hahaha! Beres deh.

Aku semakin jauh dari dapur ketika aku kuliah. Namanya juga tinggal di asrama, jadi makan, ya tinggal makan. Di asrama aku makan tiga kali sehari, dan semuanya tinggal ambil saja. Tak perlu repot-repot memasak. Pernah sih dulu teman-teman seunitku kumpul dan masak sup bareng-bareng. Tapi seingatku waktu itu masak sup gampang banget. Tinggal beli kaldu instan, lalu masukkan sayurannya. Sudah. Cuma begitu. Dan kami makan rame-rame. Seingatku rasanya enak-enak saja. (Tapi sekarang aku berusaha sebisa mungkin tidak memakai kaldu instan. Biar lebih sehat!)

Masalah soal dapur dan makanan mulai muncul ketika aku lulus dan tinggal di rumah Nenek. Waktu itu Nenek sudah meninggal. Jadi, aku tinggal di sana dengan kakakku. Awalnya sih aku nebeng dimasakin oleh Likku (tante) yang tinggal di situ juga. Tapi aku kok kurang cocok ya dengan masakannya. Mungkin karena dia penderita diabetes, jadi masakannya pun hambar. Lalu, aku mulai sering beli makan di warung makan di sekitar rumah Nenek. Lama-lama bosen juga. menu di warung makan ya begitu-begitu saja: tumis kangkung, telor dadar, ikan goreng, sup. Aku kangen orak-arik. Itu lo, wortel yang diiris tipis-tipis lalu dimasak sama telor. Lalu aku mulai memasak sendiri.

Tapi bagaimana? Wong enggak punya alat masak. Setelah Nenek meninggal, semua alat masak dimasukkan semua ke lemari. Yang ada di dapur cuma panci yang biasa dipakai untuk menjerang air buat mandi. Mau pinjam Likku, kok rasanya malas ya. Dia kan pakai juga. Jadi, aku pun mulai membeli alat-alat masak seadanya. Mulai dari pisau sampai wajan. Setelah itu, aku mulai memasak. Awalnya ya masak orak-arik saja. He he he. Nggak pernah masak lain-lain, soalnya nggak tahu bumbunya.

Setelah aku mulai belajar masak, kakakku (kakakku cowok) mulai belajar masak juga. E, rupanya malah dia yang lebih jago masak. Pasalnya, dia lebih berani memasukkan bumbu. Tidak
seperti aku yang takut-takut dalam memakai bumbu. Takut salah, takut tidak enak. Tapi kalau kakakku prinsipnya, banyakin saja bumbunya. Pasti enak! Waktu itu kami berusaha untuk tidak
menggunakan penyedap rasa. Dan rupanya kalau kita memakai bumbu yang banyak, tak perlu pakai penyedap rasa lo! Cobain aja!

Kini, setelah aku menikah, aku merasa keterampilan memasak itu perlu. Memang sih, kita bisa beli makanan yang sudah jadi di warung. Tapi toh makan masakan sendiri itu suatu kenikmatan tersendiri lo. Dan kadang lebih murah kalau masak sendiri.

Aku rasa dengan belajar memasak kita belajar banyak hal. Kalau aku sih, dengan memasak aku belajar untuk lebih berani: Berani mencoba memasak makanan baru dan menggunakan bumbu yang belum pernah dicoba. Ada tantangan tersendiri untuk dapat menyajikan masakan yang enak. Kalau masakanku dipuji suami, rasanya seneng banget. Hi hi hi. Padahal cuma sayur asem lo. Jadi, aku rasa belajar memasak itu perlu--walaupun hanya memasak makanan yang sederhana dan simpel :)