Wednesday, May 28, 2008

Jakarta yang Absurd (part 3)

Setelah kira-kira 12 tahun tinggal di Jogja, ukuranku tentang jauh-dekatnya suatu tempat berubah. Tidak seperti ketika aku masih di Madiun, kota kelahiranku, di Jogja suatu tempat yang jauhnya 5 km termasuk dekat. Kalau di Madiun, 5 km rasanya sudah jaauuuh ... sekali. Di Madiun, lima kilometer itu adalah jarak dari rumah ke kantor ibuku yang lama. Dulu, bagiku kantor ibuku jauh sekali, ibarat sudah luar kota.

Ketika di Jogja, perjalananku dari rumah ke kantor kira-kira kutempuh selama 20 menit. Jaraknya kira-kira 10 km. Beberapa kali aku pulang malam. Sampai rumah pukul 7 malam itu sudah biasa. Jam kantorku memang usai pukul empat sore. Tapi, aku memang hobi main, jadi aku suka mampir ke sana kemari sekalian sambil mencari makan malam. Tapi perjalanan dari rumah ke kantor atau sebaliknya, paling lama kuhabiskan di jalan selama 30 menit. Tidak lebih.

Sekarang di Jakarta semuanya berubah. Suamiku menghabiskan waktu di jalan untuk menuju tempat kerjanya selama 1,5-2 jam. Itu semua karena situasi jalan yang tidak bisa diprediksi. Macet di mana-mana. Padahal kalau jalanan sangat lancar, perjalanan cuma butuh setengah jam. Tapi jangan berharap banyak dengan lalu lintas Jakarta! Nggak lucu kan orang gantung diri karena stres memikirkan kemacetan di jalan? "Nggak segitunya deh," begitu mungkin komentar Dimas temanku.

Nah, beberapa hari yang lalu, adiknya suamiku hendak berkunjung ke rumahku. Mumpung kuliahnya libur. Menyadari lalu lintas Jakarta yang semrawut aku jadi bisa tidak berharap dia akan sampai di rumahku dalam waktu 10 menit, setelah dia mengatakan bahwa dia berangkat "sekarang". Dan benar, dia sampai di tempat tinggalku kira-kira 2,5 jam kemudian.

Di Jogja, untuk bisa sampai ke Solo, aku cuma butuh waktu 1 jam (naik kereta Prameks). Itu pun sudah melewati Klaten dan Delanggu--dua kota yang bertetangga dengan Jogja. Lha kalau di Jakarta? Sama-sama di Jakarta Timur saja, orang perlu menyisihkan waktu 1 jam untuk perjalanan. Ealah ... Jakarta ... Jakarta.

Dulu kalau suamiku ke Jogja dan mau stasiun karena hendak pulang ke Jakarta, kami sering eyel-eyelan soal waktu. Kalau keretanya berangkat pukul 8 malam, pukul 6 sore dia sudah memintaku untuk mengantarkannya ke stasiun. Beberapa kali kubilang, "Ini bukan Jakarta. Kita berangkat jam 7 dari rumah pun, kamu tidak akan ketinggalan kereta. Wong kita paling cuma butuh waktu setengah jam untuk sampai stasiun." Tapi dia tidak percaya, dan tetap memintaku untuk mengantarkannya pukul 6 sore. Dan benar, ketika kuantarkan, kami akhirnya menunggu kereta selama 1,5 jam di stasiun! Padahal, 1,5 jam di Jogja itu bisa untuk makan dengan santai di tempat makan favorit kami ....

Ukuran waktu dan jarak di Jakarta memang absurd. Dan kalau kamu berelasi dengan orang sudah menetap di Jakarta bertahun-tahun, soal jarak dan waktu ini bisa jadi bahan untuk eyel-eyelan! Coba saja. Dan kini jam di samping kamar kerjaku sudah menunjukkan pukul 18.15. Dan suamiku bilang, dia akan sampai rumah 2 jam lagi! Ealah ... niatnya tadi menunggu dia untuk makan malam bareng, tapi apa daya? Perutku sudah berteriak minta diisi. Bisa ngambek nanti naga di dalam perutku kalau baru 2 jam lagi baru kuberi makan.

Wednesday, May 21, 2008

Jakarta yang Absurd (part 2)

Kemarin aku jalan-jalan ke Arion. Dalam perjalanan, metromini yang kutumpangi itu disambangi oleh pengamen bertampang galak dan berbaju sobek-sobek. Bukan compang-camping sih, tapi memang sepertinya pengamen itu gaya bajunya seperti itu. Mau menciptakan model baru, kali ya? Entahlah.

Ketika dia naik, aku langsung curiga, "Wah, jangan-jangan dia maksa nih minta duitnya." Tidak jelas, pengamen itu bernyanyi apa, yang jelas suaranya lantang sekali. Separo berpuisi tapi diberi irama. Dia menyampaikan kritik sosial; mengkritik pemerintah yang cuma bisa menyengsarakan rakyat, tapi kupikir dia sendiri tidak jauh berbeda dengan pejabat pemerintah yang bisanya menakut-nakuti rakyatnya dengan peraturan yang tidak jelas. Dengan tampang galaknya dan dengan gayanya meminta uang yang sedikit memaksa itu, itu dia berubah menjadi monster.

Hmmm ... ini adalah bagian dari keabsurdan Jakarta. Aku tidak tahu, pengamen itu dibesarkan di keluarga seperti apa. Apakah dia punya anak dan istri? Apakah dia bermimpi bisa membeli rumah gedong dengan mengamen tidak jelas seperti itu? (Yee, mimpi kali Bang!) Kalau dia mengamen di acara-acara besar dengan suara seperti Delon, naaa ... itu baru memungkinkan baginya untuk mengubah jalan hidupnya. Tapi untuk bisa menyanyi dengan baik, orang perlu belajar vokal. Lha tahu sendiri kan, berapa duit yang mesti diluarkan untuk les vokal?

Keabsurdan Jakarta telah menciptakan orang-orang "sakit" yang tidak tahu apa tujuan hidupnya selain untuk mencari makan dan kalau bisa menjadi orang kaya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah orang-orang yang mendapat training serta pelatihan dari Pak Eko tentang Seven Habit-nya Stephen Covey jadi semakin sadar bahwa ada tujuan hidup yang lebih penting daripada sekadar makan dan minum?

Jalanan yang kulalui masih padat. Mobil, bus kota, sepeda motor berjejalan memenuhi jalanan. Kadang aku pengin iseng bertanya kepada mereka, "Mau ke mana sih Pak, Bu, Mbak, Mas? Kok sepertinya sibuk dan buru-buru banget." Aku yakin, sebagian besar dari mereka digerakkan oleh kepentingan kantor atau pekerjaan.

Dan mbak-mbak pramuniaga itu masih berjalan di antara rak-rak barang jualan, lengkap dengan dandanan mereka yang menor. Dengan ramahnya mereka melayani pembeli. He he he, padahal kalau dipikir-pikir, berapa sih gaji mereka? Laba penjualan dari supermarket tempat mereka berjualan itu hanya sepersekian persen yang masuk menjadi gaji mereka. Padahal, aku yakin mereka capek setelah seharian bekerja, berdiri dan mondar-mandir melayani pembeli, lengkap dengan tempelan aksesoris dan make-up yang cukup tebal. Kenapa mereka mau bekerja seperti itu? Untuk sekadar mengisi waktu luang? He, yang bener aje. Pasti sebagian besar dari mereka bekerja untuk mencari makan. Apakah kepentingan konsumen menjadi kepentingan mereka? Belum tentu. Jangan-jangan mereka berlaku sopan karena suruhan atasan. Karena kalau tidak, mereka akan dipecat. Atau kalau tidak, mereka berpikir bahwa jika pelanggan toko mereka pergi, maka mereka tidak bisa gajian di akhir bulan.

Hmmm ... jangan-jangan aku ketularan absurd juga. Aku cuma berharap di kota ini, aku tetap waras. Kesadaranku tetap berdiri tegak. Tapi siapa yang bisa menjamin? He?

Tuesday, May 13, 2008

Jakarta yang Absurd (part 1)

Ini adalah hari-hari awalku di Jakarta. Rasanya jiwaku masih di Jogja. Aku selalu bangun dengan perasaan bahwa ini cuma mimpi. Biasanya aku ke Jakarta hanya untuk main atau karena ada tugas kantor. Tapi kali ini aku harus ikut suami, jadi bisa dibilang ini adalah pergi untuk memenuhi panggilan hidupku.

Aneh rasanya. Keanehan ini tidak ada hubungannya dengan relasiku dengan suami. Tapi lebih pada bagaimana aku melihat Jakarta. Beberapa waktu lalu, ketika seorang temanku yang juga pindah kerja di Jakarta mengatakan bahwa kota ini absurd, aku cuma bisa tertawa. Aku bisa membayangkan bagaimana temanku itu terseok-seok untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja di Jakarta, sementara hampir 30 tahun hidupnya tak pernah keluar dari Jogja berhati nyaman. Dia mengeluh, di kantor barunya itu dia dianggap udik. Tapi kalau aku lebih suka mengatakan ini beda kultur saja. Dan aku cuma tertawa mendengar ceritanya. Hehehe, wong dia lucu banget kalau bercerita. Penuh ekspresi dan lengkap dengan logat Jogjanya.

Tapi sekarang aku tidak bisa menertawakan dia lagi. Aku mulai menertawakan diriku dan orang-orang di sekelilingku. He, benar ... kota ini absurd. Ibarat orang, kota ini tidak punya tujuan hidup, cuma muter-muter tidak jelas; apa saja dikerjakan, tapi tak ada ujungnya kecuali ujung-ujungnya duit. Semua orang sibuk mencari duit. Dan bodohnya, orang-orang ini kalau ditanyai informasi, jawabannya tidak jelas. Misalnya begini, waktu aku mau mengisi pulsa XL extra 100 ribu, aku mendapat jawaban yang bervariasi. Dari temanku Ema, yang mau berbaik hati akan membelikannya dalam perjalanan ke kantor, dia dikasih tahu oleh penjual pulsa bahwa XL extra 100 ribu sudah tidak ada lagi di pasaran. Sudah ditarik dari peredaran! Weh la dalah ... XL kok aneh-aneh saja ya, pikirku. Masak iya sih, XL betul-betul mau menghapuskan layanan extra yang bisa sms gratis ke sesama XL itu? Biasanya kan si XL woro-woro lewat SMS ke pelanggannya. Trus, aku akhirnya pergi sendiri ke penjual pulsa di sekitar tempat tinggalku. Jawaban yang kuterima apa coba? Si Mbak yang manis penjaga gerai itu bilang bahwa sekarang XL tidak membedakan antara extra dan reguler. Nah lo! Aku jadi bertanya-tanya lagi, si XL ini maunya apa sih? Trus, aku pergi ke gerai sebelahnya, dan di situ penjualnya bilang XL extra 100 ribu harganya Rp 101.000,00. Hehehe, untungnya aku keukeuh untuk mencari pulsa XL extra 100 ribu. Kalau tidak, kena tipu deh! Padahal kalau dipikir-pikir informasi yang tidak benar itu kan dari penjual pulsa yang saben hari melayani pembeli pulsa dan hidupnya cuma berkutat di jual beli pulsa to? Ealah ....

Sekarang aku percaya dengan kata-kata temanku, bahwa orang-orang Jakarta itu bodoh. Banyak sekali yang bodoh. Mereka cuma pinter "nggambleh", jual omongan dan ujung-ujungnya duit.

Monday, May 12, 2008

I Miss Jogja

I do miss Jogja. Kangen betul. Rasanya aku di sini seperti hidup di dunia lain. Entah aku yang nggak pinter adaptasi, atau gimana... aku nggak tahu. Aku merasa Jakarta adalah kota yang absurd. Aku pengin kembali ke dunia orang "waras", bukan di dunia "orang yang gila uang dan ignorant".

Friday, May 02, 2008

Malas (Berkemas)

Tinggal beberapa malam lagi aku bisa tidur di kamarku yang nyaman. Besok Senin rencananya (kalau dapat tiket), aku akan melanjutkan perjalanan ke kota ibukota raya. Ikut suami. (yeah! akhirnya ....)

Tapi kalau mau jujur, aku malas sekali berkemas. Apalagi meninggalkan Jogja. Tidak, aku tidak kawin paksa kok kemarin. Jadi sebenarnya tidak masalah dengan suamiku. Tapi Jakartanya itu lo! Kota super macet yang full polusi itu sebenarnya kota yang tak ingin kutinggali. Mau dibilang ndeso, ya nggak apa-apa, tapi aku memang lebih suka tinggal di kota kecil atau kota yang sedang-sedang saja besarnya. Asal ada komputer, koneksi internet, dan toko buku, rasanya itu cukup buatku.

Semalam aku ke Kinoki. Itu adalah kunjungan pertamaku, dan entah kapan aku akan mengunjunginya lagi. Sambil ngobrol ngalor ngidul nggak jelas dengan "kakaknya Jessy" (hehehe, bener to Dim?), aku menghabiskan separo malam. Duh, nyaman betul ya rasanya!

Tapi aku jadi ingat dengan kamarku. Masih ada beberapa barang yang harus masuk ransel dan kardus. Ya ampun, malas banget berkemas! Aku tidak tahu apa yang akan kuhadapi di Jakarta nanti. Tapi aku berharap, aku tidak kehilangan teman-temanku yang cuma segelintir itu ....

Thursday, May 01, 2008

Sumbangan

Sore itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu depan. Dari jendela kulihat ada dua orang berkerudung berdiri di depan pintu. Mereka bukan temanku. Ragu-ragu aku hendak membukanya. Tapi sudahlah, toh mereka perempuan. Dan dengan baju religius yang cukup tertutup rapat, kukira mereka tak akan berbuat jahat.

"Permisi, Mbak. Kami hendak bersilaturahmi," kata salah seorang dari mereka.
Agak bingung aku mendengarnya. Bersilaturahmi? Mau kenalan ya maksudnya?, pikirku. Tapi untuk apa kenalan? Warga barukah mereka?

"Bolehkah kami masuk?" tanyanya.

Dengan bingung aku mempersilakan mereka masuk. Di rumahku tidak ada kursi tamu yang khusus, jadi ya ... mereka duduk di kursi seadanya yang baru saja kuatur. (Aku memang jarang sekali menerima tamu secara formal. Biasanya yang datang adalah teman-teman. Dan mereka sudah biasa duduk lesehan dengan santai di depan TV.)

Si Mbak yang pertama mengatakan bahwa ia sedang mencari sumbangan untuk pembangunan rumah ibadah di daerah Semanu, Gunung Kidul. Lalu, temannya mengeluarkan sebuah map dari tas kemudian diberikan kepadaku.

Aku lalu mengingat-ingat uang yang ada di dompetku. Mampus! Aku enggak punya uang yang kira-kira pantas untuk menyumbang. Seingatku, yang ada cuma recehan dan selembar uang seratus ribu. Aduh, bagaimana ya?

Aku sendiri rasanya separuh ditodong. Kalau mau menolak langsung, kok kesannya aku nggak punya rasa kemanusiaan, atau minimal toleransi. Salahkah mereka membangun rumah ibadah? Tentu tidak. Tapi kok ya, begini caranya mencari dana? Selain tidak punya uang yang kira-kira pantas untuk disumbangkan, aku jadi berpikir kenapa mereka meminta sumbangan kepadaku? (Yang seratusan ribu tadi kalo disumbangkan, bisa-bisa aku kelaparan seminggu deh...) Dilihat dari jarak geografis, Gunung Kidul dan Sleman itu jaraknya bisa 2 jam perjalanan naik motor. Itu pun bisa lebih, kalau daerahnya sudah pelosok nun jauh di pucuk gunung. Jadi, aku tidak punya sense of belonging. Lain kan kalau rumah ibadah itu mau dibangun di kampungku?

Aku lalu iseng tanya-tanya ke mbak itu. Ternyata dia bukan warga Semanu juga. Ibunya memang asli sana, tapi dia sendiri besar dan tinggal di daerah Tamansiswa. Weh, tumben amat ada anak muda yang peduli dengan daerah kelahiran sang ibu. Trus, dia seorang siswa kursusan akuntasi di daerah jalan Timoho sana. Seingatku, di daerah situ cuma ada APMD, Tamsis, dan Janabadra. Jadi, bisa dibilang, dia tidak bersekolah di perguruan yang besar.

Akhirnya, aku bertanya, "Sudah izin Pak RT apa belum, Mbak?"
"Belum. Ini cuma minta sumbangan secara pribadi kok, Mbak," jawabnya cepat.

Hehehe ... mbaknya itu lucu. Aku jadi berpikir, aneh betul orang ini, belum kenal kok sudah minta sumbangan pribadi. (Tadi pas salaman, dia pun tidak menyebutkan nama.) Kalau sumbangan pribadi tuh biasanya dari orang-orang dekat, seperti kalau tetanggaku ada hajatan. Itu nggak usah diminta pun, saya kasih.

Lalu akhirnya aku mengatakan supaya dia minta izin Pak RT terlebih dahulu. "Biar saya lebih jelas, Mbak." Akhirnya map biru itu pun dimasukkan lagi ke dalam tas, dan mereka permisi untuk melanjutkan perjalanan.

Ketika mereka pergi, aku jadi teringat dulu aku pun pernah berusaha mendapatkan dana segar untuk program KKN. Dulu waktu di asrama, sewaktu dies natalis, kami juga sering mencari dana demi kelancaran acara. Awalnya sih kami berpikir, caranya adalah minta orang tua. Tapi kok kasihan amat, ya ... mereka sudah dibebani dengan uang kuliah kami yang tidak sedikit. Lalu, kami juga berpikir untuk minta uang ke orang-orang yang kira-kira berduit dan dermawan. Tapi akhirnya aku dan teman-teman sepakat tidak melakukan cara itu. Kami mengumpulkan baju bekas, dan menjualnya di pasar tradisional. Hasilnya lumayan lo!

Setahuku, penggalangan dana bisa dilakukan dengan macam-macam cara. Salah satunya dengan berjualan; bisa dengan menjual kolak waktu bulan puasa atau membuat parsel di hari-hari khusus. Kalau mau, apa pun bisa dijual kok (asal nggak jual diri lo! hehehe). Cara lainnya adalah dengan mengadakan pertunjukan amal.

Kalau pun mau minta sumbangan pribadi, rasanya lebih pas kalau sumbangan itu diminta dari orang-orang yang punya "kepentingan" juga atau punya "ikatan" khusus (entah itu alumni atau warga setempat). Jadi nggak, ujug-ujug datang dan minta sumbangan gitu, Mbak ....