Saturday, December 22, 2007

Spanduk Ucapan

Hampir setiap hari aku melewati perempatan Kentungan--sekitar Jalan Kaliurang km 6. Dan kalau lampu merah sedang menyala, bisa dipastikan kepalaku langsung menengok kiri-kanan. Jadi, aku cukup bisa mengenali spanduk mana yang baru terpasang, dan mana yang sudah lama nangkring di sana.

Nah, beberapa waktu lalu, aku melihat ada spanduk bertuliskan SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU. Sponsornya KOMPAS. Jujur, saja ... walaupun aku merayakan Natal, rasa-rasanya kok aku tidak tersentuh sedikit pun dengan spanduk ucapan dari KOMPAS itu ya? Tidak ada getaran yang kurasakan babar blas!

Ini aneh nggak sih?

Tapi setelah aku tanya beberapa teman, rupanya mereka juga tidak merasakan apa-apa saat membaca spanduk-spanduk ucapan seperti itu. Kami semua mengamini itu adalah iklan. Ya, betul itu semata-mata cuma iklan. Tidak ada nilai lebih dari itu. Tidak ada muatan informasi di situ. (Lha wong kita semua sudah tahu kan kalau sebentar lagi Natal akan tiba dan pergantian tahun tinggal dalam hitungan hari.) Layout-nya juga biasa. Font yang dipakai di spanduk itu pun tidak istimewa. Ndak ada yang khusus, unik, alias biasa saja.

Lalu? Ya itu adalah iklan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Nah, selain spanduk ucapan selamat Natal itu, aku juga sempat melihat spanduk ucapan Selamat Idul Adha. Komentarku sih sama. Itu lagi-lagi iklan yang dibuat oleh Karita--toko busana muslim yang ada di sekitar Terban. Uucapan itu ditulis dalam sebuah banner yang terbuat dari plastik. Ini memang sedang marak. Maksudku, sekarang orang lebih suka menggunakan banner yg terbuat dari plastik (selain lebih awet, jatuhnya lebih murah). Yang membuatku agak "ngganjel" waktu melihatnya sih terutama karena banner itu terbuat dari plastik.

Kita kan sedang berusaha menangani pemanasan global. Lha kalau banner itu terbuat dari plastik, itu kan sama saja kita menambah sampah yang sulit untuk didaur ulang oleh bumi. Dengan kata lain, ini sebenarnya--disadari atau tidak--menambah masalah.

Sebenarnya, ucapan-ucapan itu semua untuk siapa sih? Kalau kami yang membacanya tidak merasakan dampaknya, tidak juga merasa bergetar saat membacanya, lalu buat apa?

Tapi waktu aku cerita hal ini ke seorang temanku, si Aat Poank, presenter acara SANTAP di RBTV, dia bilang begini, "Untuk semua perasaan tidak enak yang kamu rasakan itu, kayaknya kamu yang salah deh." Hehehe ... mungkin aku yang salah. Tapi kalau dari kacamataku, aku bilang spanduk-spanduk itu USELESS. (Sorry ya At, walaupun kita sama-sama Gemini, kali ini kita berbeda pendapat :D Nggak apa-apa kan?)

Tuesday, December 18, 2007

Kepercayaan

Sebenarnya masalah kepercayaan itu simpel. Ini seperti ketika kita memutar keran dan yakin seyakin-yakinnya bahwa air bakal mengucur. Atau semudah kita meletakkan pantat ke sebuah kursi dan percaya bahwa kursi itu cukup kuat menahan berat tubuh kita.

Tapi rupanya kepercayaan itu gampang-gampang susah. Nggak semudah membuka kulkas dan lampu kuning di dalamnya langsung menyala. Seringnya aku malah berpikir terlalu lama untuk memercayai sesuatu. Percaya ke orang salah satunya.

Dan yang jadi soal adalah, ketidakpercayaanku ini berlaku pada orang yang memiliki kuasa terhadap aku. Tepatnya yang bekerja sama denganku--kalau mau pakai istilah yang lebih "terhormat". Rasanya belakangan ini kepercayaanku semakin tipis--setipis tisu yang kena air langsung hancur.

Duh!

My dear friend(s), I really do not understand what's in your head!

Monday, December 17, 2007

Wajib Belajar?

Entah kenapa baru-baru ini aku jadi "ngganjel" kalo merenungkan slogan WAJIB BELAJAR. Aku lupa siapa yg mencanangkan slogan ini. Entah pemerintah. Entah departemen pendidikan. Atau cuma Pak Lurah. Suer, lupa.

Kenapa aku ngganjel?

Begini, aku bertanya-tanya, "Apakah belajar itu wajib?" Memang, setiap orang itu butuh belajar. Tapi apakah itu wajib? Aku terus-terang agak alergi sama istilah "wajib". Kesannya maksa. Tapi betul aku akui bahwa setiap orang butuh terus belajar. Itu sebenarnya sudah menjadi "panggilan" hidup masing-masing orang.

Tapi masalahnya, proses belajar itu tidak selamanya gampang. Mudah. Mulus. Kadang-kadang (atau malah sering, ya?) tidak enak. Belajar berarti mendobrak kenyamanan kita. Salah satu konsekuensi dari belajar adalah menerapkan apa yg kita pelajari, mengubah diri menjadi pribadi yg lebih baik. Ini kan nggak mudah. Orang kudu menghancurkan kebiasaan2 buruk yang bisa menghambat diri sendiri dan orang lain. Nah, yg begini ini yg nggak bisa diwajibkan. Soalnya, nggak semua orang mau. Nggak semua orang mau melewati proses yg "menyakitkan".

Kalau kemudian belajar menjadi "wajib" ... akhirnya orang hanya terpaku pada hasil--pada "Berapa IP-mu?", "Kamu juara apa enggak?". Itu semua tidak membuat orang menjadi pribadi yg lebih baik. Tidak membuat orang menjadi lebih bijaksana.

Setiap orang memang perlu belajar. Itu kebutuhan. Tapi tidak bisa dipaksakan. Ibarat kalau orang perlu makan, tetapi kalau kita dipaksa makan, itu kan tidak enak, to?

Itu semua pendapatku lo... Orang lain boleh punya pendapat yg lain.

Thursday, December 13, 2007

Siapa yang Beli?

Beberapa bulan yang lalu, aku dan seorang sahabat jalan-jalan ke Bandung. Dan mampirlah aku ke Paris van Java. Niatnya sih nonton. Tapi setelah nonton, kami lapar. Makan apa ya? Lalu, demi memenuhi perut yang lapar, kami mencari tempat dan, tentunya, makanan yang sepertinya pas untuk mengisi perut yang sudah dang-dutan ini.

Keliling punya keliling, sebagian besar yang kami temukan adalah stand2 yg menjual barang mahal bermerek dan kafe-kafe yang makanannya kurang mengenyangkan. (Harap maklum, di dalam perut kami ada naganya, jadi butuh makanan porsi besar hehehe.)

Melihat itu semua kok aku akhirnya merasa capek ya. Aku juga jadi bertanya-tanya, siapa sih sebenarnya yang beli barang-barang mahal itu? Apa iya, semua benda mahal semacam tas, sepatu, handphone, dll itu, harus semahal itu? Apa iya sepotong kulit sintetis yang dijadikan tas itu harganya sampai ratusan sampai jutaan? He?

Aku jadi ingat, dulu pas aku dan beberapa teman main-main ke mal, temanku naksir sepatu yg harganya beberapa ratus ribu. Buat kami, itu harga yg mahal. Dia lalu bilang begini, "Wah, gajiku sebulan tuh ternyata cuma seharga 3-4 pasang sepatu ya!" Hehehe. Padahal, kami masuk hampir tiap hari. Dari jam 8 sampai jam 4. Belum lagi kalau ada yg lembur atau harus mengerjakan pekerjaan di rumah. Tapi ternyata kok semua itu cuma setara dengan 3-4 pasang sepatu, ya?

Lalu, kembali ke barang-barang bermerek yang nangkring di pusat perbelanjaan itu, siapakah yang membeli mereka? Kalau kami, karyawan yang rajin bekerja ini gajinya hanya cukup untuk ditukar 3-4 pasang sepatu, bagaimana dengan orang-orang yang sampai sekarang masih belum tahu mau makan apa besok pagi?

Sahabat saya yang menemani saya berjalan-jalan itu akhirnya bilang, "Dunia ini sebenarnya bisa bertahan hanya kalau kita hidup hemat." Betul juga. Lha kalau dipikir-pikir, salah satu alasan mengapa keadaan bumi ini makin sekarat kan karena kita terlalu tamak. Tidak hemat. Iya to?

Tuesday, December 04, 2007

A Good Year: Kebijaksanaan yang Tersembuyi

Semalam akhirnya terjadilah reuni kecil-kecilan para cucu keluarga Hartono; sama satu buyut juga ding, Bu Dokter Sita. Dan akhirnya kami menonton film dengan "dicukongi" Om Siswo (makasih ya Om! Sering2 ke Jogja deh kalo gini hehehe). Kami menonton A Good Year.

Kami berjejal di deretan tengah bioskop 21, Ambarukmo Plasa. Sip! Walaupun sudah lewat jam tidurku, ternyata mataku masih bisa melek juga. Yang membuatku betah nonton adalah pemandangan daerah Luberon, Provence yg adem dan membuatku serasa ingin terbang ke sana lalu menyusuri kebun anggur itu. (Kapan ya bisa sampai sana? Rasanya pemandangan desa itu sampai siang ini masih nancep di kepala nih! Aku jadi membayangkan bagaimana kalau aku tinggal di sana dan menulis. Wah! Ada yang mau membawaku sampai ke sana nggak ya? Hehehe.) Selain itu, film itu mengandung pesan-pesan yang walaupun sudah "uzur", tapi membuatku tercengang lagi dan akhirnya mendorongku untuk ngeblog lagi.

Satu pesan dari Uncle Henry ke Max Skinner kecil adalah ketika si Max disuruh menari-nari walaupun dia kalah main tenis dengan sang paman. Max jelas-jelas menolak, dong! Wong kalah kok suruh njoget. Yang bener aja, Pakde! Tapi Uncle Henry itu bilang--kurang lebih--begini, "Menarilah kalau kamu kalah. Soalnya kekalahan memberimu banyak kebijaksanaan daripada kemenangan, walaupun kemenangan itu memang rasanya lebih enak. Bagaimanapun kekalahan harus dirayakan!"

Wah!

Dia juga bilang, "Kalau kamu udah nemu sesuatu yg bagus, kamu harus menjaganya." Itu dia sampaikan ketika dia menyuruh si Max kecil mengetes anggur.

Melihat film itu membawa getaran tersendiri. Rasanya kebijaksaan Uncle Henry itu pas banget buat aku. Kadang aku terlalu membedakan kekalahan dengan kemenangan. Aku menganggap kemenangan (di dunia ini tentunya), jauh lebih baik daripada kekalahan. Memang pahit sih waktu kita tahu bahwa ternyata kita kalah. Tapi coba tunggu sebentar, bukankah kekalahan membuat kita bijaksana? Dan bukankah itu sangat kita perlukan untuk bekal menjalani hidup ini. Kebijaksanaan tidak bisa dipelajari seperti kita belajar di sekolah. Enggak. Kita enggak cukup dengan membaca Alkitab atau buku2 yang penuh kebijaksanaan lainnya. No, no, no! It's not enough. Semua yg kita baca itu baru teori. Praktiknya ya bagaimana sikap kita kalau kita menemui sesuatu--entah kekalahan, entah ketidaknyamanan, entah kemenangan, entah kegembiraan.

Ini bukan perkara mudah. Ini tidak beda jauh dengan kenyataan bahwa walaupun kuping ini sudah puluhan, bahkan ribuan kali mendengar supaya kita harus saling mengasihi, tapi ternyata kalau aku ketemu orang yang nyebelin, rasanya aku masih sulit banget untuk bisa mengasihinya. Rasanya pengen jauuuuh aja sama dia. Capek sih! Tapi apakah itu sikap yang baik?

Eh, tapi film itu bagus. Memang tidak sampai bintang lima sih. Tapi enggak rugi kok kalau nonton. Apalagi kalau ditraktir hehehehe! (Makasih ya Om!)